Tuesday, December 28, 2010

! O U Y S S I M I

 27 December 2010, Beaching Time
 Whispering: "Anyone knows where is someone that I miss, is he miss me, like what I am doing now, please let me know soon, cause I have no more word now, I've spent all of my words just for saying (Hey mbem, I miss you)!"

...

Saturday, December 25, 2010

Out of Mind


Semua tak ada yang sia-sia. Itu yang saya tau dan mengerti. Hari ini saya rindu senyum itu. Hari ini saya rindu tawa itu. Hari ini saya rindu raut wajah itu. Hari ini saya rindu wangi parfum itu. Hari ini saya rindu aroma shampoo itu. Hari ini saya rindu segala apa yang saya rindukan. Itu. Iya yang itu. Kamu. Iya kamu yang itu. Kamu yang saya rindukan. Kamu yang harusnya saya tinggalkan saja di belakang. Kamu yang harusnya saya lupakan. Kamu yang harusnya tak saya lirik sedikit pun. Kamu yang harusnya tak saya kenal. Kamu yang harusnya tak saya lihat senyumnya. Kamu yang bodoh dan tak pernah punya inisiatif. Iya kamu! Saya rindu. Rindu sekali. Maaf.

...

Sunday, December 5, 2010

Heart's note

Bogor, 21 November 2010

Sudah lama aku tidak mengumbar kata-kata di sini. Rasanya ketika kita merasa telah memiliki seseorang, seperti telah melupakan hal sebelumnya. Ya hal yang ku sukai, hal dimana aku sendiri dengan sejuta kata di pikiranku yang dapat dengan mudah ku rangkainkan. Namun kini aku merasa tak ada yang harus ku rangkai, karena aku tak punya sejuta kata-kata itu. Mungkin hanya sebagian kecil kata yang terlepas dari kaitnya yang masih bisa ku rangkai ulang. Kau tahu, ketika kita mulai merasa memiliki seseorang, akan ada satu sisi yang seolah menghilang dan terdapat sisi lain yang muncul. Sisi dimana kau tidak bisa menjadi dirimu sendiri. Tapi kau tidak bisa mundur atau pun sekedar berbalik arah. Karena akan ada seseorang yang dengan setia menantimu. Walaupun sebenarnya kau pun masih ragu dengan apa yang sedang di nantinya, kau kah atau hati mu?
Entah mengapa, hanya saja aku merasa ini tak kan berhasil, namun yang sekarang aku tahu, dia sudah terlanjur masuk menjadi bagian dari hatiku.

...

Tuesday, November 16, 2010

New Lesson

Dan yang saya tahu sekarang adalah 'masih banyak hal yang perlu di pelajari dari orang lain di bandingkan hanya melihat dari pengalaman yang pernah saya alami. karena kenapa? karena masih banyak sekali orang di luar sana yang jauh lebih hebat dari diri kita sendiri, karena masih ada orang di luar sana yang sangat luar biasa dalam banyak hal dan karena masih selalu akan ada orang di luar sana yang selalu akan menjadi seperti itu'.

Tak akan ada yang menyangka bukan bahwa orang yang diam bisa menjadi tak terbantahkan pendapatnya. Tak akan ada yang meprediksi pula bahwa orang yang bermulut besar hanya akan jadi bahan  celotehan. Itulah hidup. Berputar. Seperti roda. Hanya satu hal yang dapat kita lakukan. Mencegah. Bukan menanggulangi. Ya, mencegah sebelum menjadi yang terakhir, mencegah sebelum menjadi yang terbelakang dan mencegah sebelum semua hal yang tidak kita inginkan terjadi. Itulah tugas kita untuk melindungi diri kita sendiri.

Kalau mau, lakukan! Kalau tidak, tinggalkan! Easy, right? No matter what you are, no matter who you are, everything's gonna be alright when you think and do it right. So, what you are waiting for? Just waiting for a result? NO. It isn't you, if you just do like that.

Masih terlalu banyak kenyataan yang seharusnya sudah jauh-jauh hari di prediksi. Mungkin semua memang kembali kepada waktu. Tak ada yang bisa menghentikan dan mengaturnya kan. Yang saya yakin pasti ada banyak hal yang harus saya lakukan dan saya wujudkan dalam waktu dekat maupun waktu panjang yang saya punya. I wanna go around the world! That's what I'm exactly wanna do. How about you? Do you want to join with me or just wait for the unreal things and leave one step behind. You decide it!

...

Sunday, November 7, 2010

Hello Miki, nice to meet you!


Rabu, 27 Oktober 2010
Dan hal yang benar-benar gw ingin lakukan sekarang adalah menghilangkan ingatan tentang seseorang bernama Miki. Entah bagaimana ejaannya, yang gw tahu dia bernama Miki. Ya kereta ekonomi tujuan Bogor dengan harga tiket Rp.2000,- yang bahkan nggak  pernah gw lirik untuk menaikinya. Kecuali terpaksa. Dan hari ini gw terpaksa naik kereta yang penuh sesak tersebut. Kembali ke rutinitas seperti biasa, setalah weekend, gw harus tetap kembali ke Bogor, mau tak mau.
Kira-kira pukul 08.40 gw udah berada di stasiun kereta Duren Kalibata. Niatnya berangkat pagi, supaya nggak berdesakan nanti di kereta. Setidaknya dapat tempat duduk sampai nanti tiba di Bogor. Guess what? Ternyata kereta ekonomi AC yang gw minati datang pukul 10.30 dan artinya gw harus nunggu selama hampir 2 jam. Dan menurut gw itu sangat wasting time. Karena banyak hal yang harus gw lakukan. Seperti belajar karena besok gw ujian. Awalnya gw berpikir buat main ke UI ketemu saudara. Daripada nggak ada kerjaan kan? Sialnya, dia ada kelas sampe nanti sore jam 5.
Oh God, tadinya gw malah mikir mau pulang aja dulu daripada harus naik Kereta Ekonomi yang padet banget atau nungguin Kereta Ekonomi AC yang lama banget. Tapi gw bersyukur itu semua nggak gw lakuin, gw nggak pulang ke rumah dan memutuskan untuk membeli karcis Ekonomi tujuan Bogor . “20 menit lagi” kata petugasnya. Well, sejauh gw menunggu belum ada kejadian menarik.
Akhirnya gw mencoba melakukan kegiatan yaitu sms seseorang dan ternyata nggak di bales sampe beberapa waktu. “Kereta Ekonomi tujuan Bogor dari arah utara di jalur 2!” begitu suara operator stasiun terdengar. Niatnya gw mau liat penuh apa ngga keretanya, kalo penuh ya ngga jadi, mending beli Ekonomi AC aja nanti. Tapi sekali lagi gw bersyukur, karena ternyata nggak begitu penuh dan gw mengurungkan niat gw lagi. Lumayan dempet-dempet pas di dalem kereta. Pemandangan aja nggak ada yang enak. Adanya mas-mas, bapak-bapak, ibu-ibu bawa anak di tambah lagi tukang dagang asongan yang nambah sempit, tukang dagang buah-buahan yang pake dorongan bikin orang-orang di kereta jadi geser-geser. Dan bahkan tukang dagangan ya nggak cuma satu.
Dan yang lebih gw heran lagi nih ya, bahkan nggak ada satupun dagangan mereka yang laku dan mereka tetep bolak-balik. ya nggak bisa di salahin juga sih, namanya juga usaha. Kereta berhenti di stasiun Pasar Minggu cukup lama dan alhasil makin padat lah kereta. Dan posisi gw berubah dari yang tadi deket pintu kereta sekarang udah deket perbatasan gerbong. Dan gw nggak bisa meraih pegangan karena emang udah penuh. Dan semua di mulai dari sini. Peristiwa yang sederhana tapi cukup berkesan disini (di hatiku).
Pedagang buah yang tadi, lewat lagi dan gw harus nyingkir. Gw nggak tau harus geser kemana tadinya, sampe seseorang mundur dan ngasi tempat buat gw geser. “Eh sorry!” kata gw sambil nyengir. Dan akhirnya gw kembali ke tempat semula. Masih biasa aja nih ceritanya. Dan kembali tukang buah lainnya berseliweran di tengah kereta. Dan artinya gw harus geser-geser terus dan bilang “Eh sorry!” berkali-kali.
Akhirnya kereta jalan juga. Entah emang gw aja yang baru nyadar atau gimana, yang pasti tiba-tiba orang yang ngasih tempat buat gw tadi udah ada di sebelah gw (soalnya tadi perasaan dia ada di belakang gw). Tepat benar-benar di samping kanan gw. “Ke Bogor?” setelah gw beberapa detik gw baru engeh kalo dia lagi nanya gw karena dia nengok ke arah gw dan bahkan itu jaraknya deket banget. “Eh iya” dan lagi-lagi gw nyengir. Oke biasa aja, jawab seperlunya seperti yang biasa gw lakukan. Tiba-tiba dia ngomong “Udah penuh masih ngerokok lagi!”. Sebenernya sih gw nggak tau dia ngomong sendiri atau ngajak gw ngomong. Dan gw berkata “He? He eh” padahal gw bahkan nggak tau dimana orang ngerokok yang di maksud. Dan gw mengedarkan pandangan gw dan menemukan sosok perokok di tengah keramaian tersebut. Gw masih belum berani nengok untuk sekedar liat wajahnya. Yang gw tau tingginya lebih dari gw dan wangi. “Baru pulang kerja?” tanyanya lagi. Dan sekarang gw mencoba melihat bagaimana wajahnya. “Eh eh kerja? Nggak. Kuliah di IPB” and you know what? Gw ‘salting meeeeeennn’. Akhirnya gw nengok ke arah lain dan berharap dia nggak nyadar kalo gw lagi salah tingkah.
“Oh D3 nya?” tanya nya lagi tapi kali ini gw udah ngejawab dengan nyantai setelah memastikan dia bukan mas-mas yang kecentilan terus ngajak kenalan.
“Bukan S1 nya” tetap singkat.
“Darmaga ya? Apa? Gizi?”
“Nggak bukan, ekonominya”
“Oh sodara saya ada di gizi D3 terus nerusin S1nya”
“Oh angkatan berapa?”
“Sekarang sih udah lulus, udah kerja buka usaha yoghurt deh kalo nggak salah”
“Ooo..”
“Iya nyokapnya kan supplier Cimory and bla..bla..bla..” dan banyak banget hal yang kita omongin sepanjang perjalanan.
Mulai dari IPB yang keluarannya pada sukses, temen-temen dia yang banyak dari IPB, sodaranya yang sukses jadi supplier, Om nya yang juga keluaran IPB, sekolahnya di perhotelan, kerjaannya dia sekarang yang di daerah Senayan, cerita tentang kehidupan artis, tamu, daerah, kerja di bank, kegiatan, kerjaan yang enak, gaji, tempat-tempat enak di Bogor, orang-orang hebat yang kita kenal, pengalaman, kuliah, dan semua di campur adukin di obrolan kita.
Asik? Asik banget. Seru? Seru banget sampe-sampe gw selalu dengerin apa yang dia omongin. Sampe sampe gw ga peduli ada pengamen yang lagi minta receh ke arah gw, sampe-sampe gw nggak peduli itu tukang buah mau bolak-balik berapa kali, sampe-sampe rasanya gw nggak mau turun dari kereta nanti, sampe-sampe gw bener-bener mau memperlambat waktu, sampe-sampe gw mikir buat ntar bisa sering ketemu dia. Emang segitu menariknya? Iya dan jawabannya ‘Iya!’. Waktu kita lagi ngobrol, gw liat ada bekas jaitan di tangan kirinya dan gw nggak akan lupa.
Gw seneng bisa ngobrol banyak sama dia. Gw seneng bisa sharing banyak hal tentang kerjaan. Gw seneng bisa tahu banyak tentang kehidupan perhotelan. Gw seneng bisa di kasih tau banyak tempat-tempat asik. Gw seneng bisa dapet banyak pengalaman dari dia. Gw seneng bisa nyambung ngomong sama dia. Gw seneng dia baik banget mau ngasih tempat buat gw geser. Gw seneng dia ngalangin gw dari orang-orang pas tadi turun dari kereta. Gw seneng bisa ketawa bareng sama dia.
Walaupun kita baru kenal. Walaupun dia belum nanya nama gw sampe tadi pas mau pisah. Walaupun gw nggak tau dia baik atau nggak. Walaupun gw nggak tahu bakal bisa ketemu lagi sama dia apa ngga. Walaupun kenyataannya kita pisah gitu aja tadi. No phone number, no place, no contact. That’s the truth. Gw nggak bakal bisa ketemu lagi. Gw nggak bakal bisa ngeliat lagi. Gw nggak bakal bisa berbagi pengalaman lagi. Karena emang nggak mungkin bisa.
Kereta? Haha setiap hari selalu berjalan dan nggak pernah berhenti. Waktu juga akan terus berjalan dan nggak pernah berhenti. Begitu juga kehidupan gw, emang lebai sih keliatannya. Tapi emang ini yang gw rasain. Gw kesel kenapa baru terakhir-akhir dia nanya nama gw. Gw kesel kenapa baru terakhir-akhir juga gw tau namanya itu ‘Miki’. Gw kesel kenapa kita harus beda jurusan pas nyampe Bogor. Gw kesel kenapa dia nggak nanya nomor handphone gw. Gw kesel kenapa tadi gw juga cuma pergi gitu aja. Gw kesel kenapa tadi nggak gw aja yang berinisiatif.
Gw kesel kenapa tadi pas dia bilang “Mau di anter ke Darmaga? Gw bawa motor” gw jawab “Nggak usah”. Gw kesel kenapa tadi pas dia bilang “Sampe ketemu nanti di kereta lagi ya!” dan gw jawab “Iya lain kali”. Gw nyesel kenapa gw nggak spik-spik dan bilang “Eh kalo ntar gw balik ke Bogor, bareng aja”. Gw nyesel pas tadi dia bilang “Kalo sore main ke BTM dong, gw sama temen-temen gw yang komunitas sering di situ setiap hari” dan gw jawab “Ah jauh ah haha..”. Kenapa gw nggak bilang aja “Hahaha iya gampang” seenggaknya dia tahu kalo gw nggak cuma bakal ketemu sama dia di kereta doang (iya kalo ketemu lagi, kalo nggak?).
Tapi percuma kan kalo gw nyesel sekarang, percuma juga kalo gw kesel sekarang, lebih percuma lagi kalo gw masih berpikir ‘gw bakal ketemu dia lagi’. Percuma banget. Sekarang udah pukul 14.02 artinya ini udah kurang lebih 3,5 jam gw masih kebayang semua kejadian tadi. Dan gw nggak tau gw bakal mikirin sampe kapan. Tapi yang pasti, gw ragu bakal bisa ketemu dia lagi nanti. Apa iya harus nunggu di stasiun Duren Kalibata jam 08.40 biar bisa ketemu. Apa iya harus ke main ke BTM tiap sore biar bisa ketemu. Apa iya harus ke Senayan tiap malem biar bisa ketemu. Nggak, kan? Ya nggak laah! Gw mau nyerah aja deh. Kalo emang gw masih mikirin, ya yaudah. Mau gimana lagi. Tapi, kemungkinan buat ketemu lagi 1:1000 kecil banget.
“Eh iya nama kamu siapa?”
“Fadil”
“Kaya nama cowo”
“Fadila, tapi di panggil Fadil”
“Ha? Kadila?”
“Fadila, nama lo siapa?”
“Miki”
“Miki? Mickey Mouse?”
Dan dia hanya tersenyum.

n.b. gw mau naik kereta Ekonomi aja setiap pulang nanti.
...

Monday, October 25, 2010

How would be the future are

Entah ini mau di bilang kabar buruk atau malah kabar baik. You know what? Gue resign dari radio. Well, ini pilihan gue dan temen-temen gue yang lainnya. Kalo ada yang nanya kenapa, gue juga nggak tau kenapa. Gue suka siaran, walaupun mesti dateng malem-malem, siaran jam 12 malem sampe 3 pagi, nginep dan pulang pagi. Gue suka sama anak-anak radionya. Gue suka sama semua hal yang berkaitan dengan 'announcer'. Gue suka gue suka gue sukaaaaaaaa! Tapi gue milih buat resign. Well gue udah tanda tanganin pernyataan resign nya gue dan artinya gue nggak akan siaran sampe tgl 11 Januari nanti. Setelah itu? gue juga nggak tau bakal bisa siaran atau nggak. Dan yang pasti gue kangen bisa siaran lagi. Kangen ketemu temen-temen radio angkatan 22. Rexa, Citra, Colin, Yuli, Fitri, Hiko (Mr. Jack Sparrow) dan semua yang namanya nggak gue sebut, I miss you already all!

Berita selanjutnya adalah gue di terima sebagai new candidate member di UKM yang gue pengenin. IAAS dan Korpus. Kegiatan gue selanjutnya adalah latihan sofbol setiap hari minggu. Sebenernya kalo di pikir-pikir ini semua ngurangin jadwal pulang gue ke rumah. Dan sebentar lagi gue ujiaaaaaaan dan gue bener-bener belum mempersiapkan diri gue lebih lanjut untuk setidaknya dapat mengerjakan satu soal ujian. Sumpah ya udah tiga bulan gue kuliah, kok gue ngerasa belom ada yang nyantol di otak gue ya? Yaa ada sih tapi bukan pelajaraaaaaaaaaan. Dan bahkan gue belajar pelajaran yang dasar dan seharusnya gue udah hafal itu semua waktu SMA. Tapi kenyataannya nggak ada yang nyantol. Niatnya sih nih ya, gue sekarang ada di rumah, libur 5 hari buat belajar, tapi hasilnya, ini udah hari ke 3 dan gue masih belum berkutat dengan buku.

Tadi malem gue baru aja dateng ke undangan temen bokap. Acara pemberian mahkota untuk Miss Indonesia Earth. You know what I get from the event? I know that only the girl with 60% beauty and just 40% abilty who can be a winner. Nothing I need to say, just think that how lucky that girl with the beauty. Tapi, semua wanita itu cantik. Iya kan? Setelah ikut bokap gue dateng ke dua acara hari sabtu dan minggu kemaren, gue lagi mikir deh, kira-kira nanti kaum komunitas gue bakal kaya gimana ya? Kumpulan orang-orang yang kerjanya freelance atau orang-orang dengan jas, heels dan sasakan tinggi ? Emang bukan gue yang nentuin, Tuhan yang berkehendak tapi kita yang memilih, kan? Jadi, mau jadi apa kita nanti, itu kita yang memilih.

Gue jadi makin takut buat ngehadapin dunia kerja deh. Walaupun sekarang bahkan gue baru aja masuk ke dunia perkuliahan dan belum ngerasain gimana sulitnya nanti dengan dosen dan tugas akhir seperti yang di ceritakan senior-senioar gue. Mungkin emang gue aja yang mikirnya terlalu jauh, tapi bener juga kan. Kalo nanti gue udah lulus terus dapet job cepet (amin). Gue bakal jadi apa ya? Pegawai negeri, wiraswasta, swasta, di bank, advertising, announcer, freelance or what? Kalo nanti ada hambatan dan kita sendirian gimana?

Gue jadi inget rapat radio terakhir sebelum penentuan resign atau ngga nya yang gue datengin, mas Ir (boss gue di radio), he said "Lo nggak bisa kaya gini mulu, grow up! Kalian semua udah gede, gue juga pernah ngerasain kuliah kaya kalian sekarang, tapi buktinya gue bisa ngelewatin semuanya sampe sekarang. Nanti kalian bakalan ngerasain yang lebih sulit dari cuma kuliahan kaya gini. Lo semua bakal ngerasain gimana dunia kerja, kalo lo nggak bisa ngapa-ngapain ya terima aja lo di injek-injek nantinya sama boss lo, sekarang kan semua elo yang milih, lo mau jadi gimana, pola pikir kalian yang harusnya di rubah, lo semua udah bukan anak SMA lagi yang masih pake seragam dan minta uang kalo mau jalan-jalan, lo harus bisa manfaatin apa yang ada, sekarang ada fasilitas tinggal gimana lo semua pake buat ngehasilin duit.." Ya kurang lebih begitu lah yang di ucapkannya. Sebenernya kalo gue bilang ya, Mas Ir lebih cocok jadi motivator dunia kerja deh.

Banyak yang harus gue lakuin dari mulai sekarang. Mulai dari merubah pola pikir, kalo nanti gue akan benar-benar bergabung di kalangan yang entah gue belum tau apa. Dan apapun itu nanti gue mesti udah harus siap dengan segala resiko dan konsekuensi yang gue dapat. Apapun itu percaya atau ngga I'm a woman means everything is not easy as it should be. Setidaknya gue harus berusaha banyak, untuk nggak jadi anak manja yang nyusahin orang tuanya. Jadi perempuan itu nggak mudah, harus ngelakuin lebih untuk bersaing dengan pria. Tanya kenapa? Karena memang udah kodrat nya kaya gitu. Mau gimana lagi. Apapun yang pria lakuin selalu dapat di nilai lebih di dunia kerja. Kenapa saya bisa berpikir seperti itu? Karena faktanya memang seperti itu. Yang pasti gue nanti harus jadi perempuan karir atau setidaknya menjadi perempuan sukses di bidang jurnalistik dan broadcast. I like for being an announcer, I love for being a writter and I do really proud for being my self. How about you?

n.b. I would like to say thank you for someone who likes for reading my blog, nice to know you, FP!

...

Saturday, October 16, 2010

Go away and don't back, boy!

Kau tahu indahnya hujan dan segala unsur yang menyertainya. Seperti melihat tirai yang tak berujung dan berharap tak pernah berhenti. Bisakah hujan datang di setiap suasana hatiku redup saja? Agar aku selalu senantiasa merasa kokoh dan tegar. Halaaah tegar? Masihkah itu menjadi sebuah kata yang bisa menjelaskan bagaimana kuatnya hatiku? Atau sehebat benteng pertahananku? Salah. Sekarang tegar sudah terlalu lampau untuk di gunakan. Karena sekarang hatiku benar-benar keras seperti batu. Keras. Tak tersentuh. Dan aku tahu hujan tetap tidak akan datang sesuai kemauanku saja. Aku lelah menjadi sosok si tegar. Aku bosan. Jadi sekarang aku lebih suka menjadi batu. Diam dan tak bergerak apalagi mempunyai hati. Tidak lagi.

n.b for someone "Please don't play with a heart, because you'll get the feedback soon after you leave the girl behind you alone! Because you never feel how to be that girl"

...

Friday, October 8, 2010

Hey I'm announcer!

Do you know what I'm doing here? I'm on airing!!! On 12p.m until 03a.m. Yeeeeaaah with so many new inbox on the PC then I must read it, play the request and entertain the listener. Oh God, so sleepy! No one in studio now, I'm alone. Oops, not really alone, there is Renaissa, one of the crew too, but she is sleeping now. Hiko is back after on tandem air with me or I'm be his partner, because my friend that should be the announcer is sick. And I must replace her from 09p.m-12p.m. Next, my boss is home too. And there is still be two more hours!!! Means I will not really sleeping well this night. And tomorrow my class start on 7a.m. But I'm actually happy, because tomorrow is friday that means I will go home without all of the rushing things in my mind, without the tiring jobs in my weekend and no homework. So, night all!!! (or morning all?).

n.b. Hey, I've got a secret admirer! And the stupid thing is I'm adore him.

...

Saturday, October 2, 2010

Welcome October! See you September!

Nggak banyak yang pengen gw share sekarang, kegiatan gue numpuk banget. Mulai dari kuliah TPB yang seabrek-abrek (berasa SMA lagi gue). Ini disebabkan karena di masa TPB, diwajibkan untuk belajar semua pelajaran dasar, ex: Bahasa Indonesia, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Agama Islam, Bahasa Inggris bahkan Olahraga aja ada dan semua di plus-plus sama yang namanya praktek dan responsi. Intinya mah nggak ada kegiatan lain selain kuliah pulang malam atau mari kita sebut 'kupu-kupu malam'. Well, ini tadi kakak pembimbing agama islam gue ngelawak. Dan di tambah lagi, aktif nya gue di radio. Tapi, gue sekaligus senantiasa senang, karena nama siaran gue udah dii resmiin dan bisa di publikasi #pamer.
Nama Asli: Fadila Maula Hafsah
Nama Siaran: Fadil Vinifera (Vinifera==> Anggur dalam bahasa latin)

Setelah melewati ospek jumat-sabtu kemaren, badan gue serasa rentek banget, mau copot. Dari pagi ke sore dan tugasnya adalah 'demo'. Ngelilingin kampus gue dan itu nggak cuma sekali dan itu dengan berjalan kaki sekaligus di siram-siram air. Dan itu adalah air comberan di tambah kopi dan kawan-kawannya. Gimana nggak kesel coba ckck. Tapi, asik kok! Nggak nyesel ikutnya.

Kembali ke kesibukan gue di radio, sebentar lagi radio gue ulang tahun yang ke-17 (sweet seventeen lhooo!) tanggal 3 Oktober nanti. Dan kita bakal ngadain acara radio siaran 24 jam non stop. Well, tadinya mau 100 jam tapi karena di potong libur lebaran dan tetek bengek lainnya. Akhirnya yang 100 jam siaran di undur tanggal 11 Januari nanti plus rekor muri 100 penyiar. Doain ya, guys!

Dan kesibukan gue bertambah semenjak banyaknya UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang Open Recruitment. Dan FYI, di kuliahan tuh mau ekskuran aja pake wawancara dan lebihnya lagi dari beratus-ratus yang masuk ya berpuluh-puluh yang di pilih dan bisa ikutan -_-. Finally, gue memutuskan untuk mendaftarkan diri di kegiatan internasional, dan tgl 2 besok gue mau wawancara dan sekarang jam 24.00 tgl 1 dan gue ada di Jakarta. Gue juga ikutan 'koran kampus' lhooo! meneruskan kegiatan gue di SMA, akhirnya gue memutuskan untuk mengapply form gue, sekarang gue baru selesai buat CV yang notabene harus di buat sekreatif mungkin. Guess what? gue bikin CV gw plus scrapt-scrapt, I miss my mading's partners!!!

Hari ini gue baru balik dari Bogor mendadak banget, jangan bilang-bilang ya, "gue bolos kuliah!" sambil bisik-bisik. Iya my lil sister is sick. Kasihan :( Padahal niat awalnya gue emang nggak mau balik minggu ini. Tapi gue kangen rumah, gimana doooong? Dan yang akan gue ceritakan adalah orang yang gue temui di stasiun ketika keluar dari gerbong kereta api ekonomi. Ehm gue naik ekonomi yang ramenya seabrek-abrek dengan aroma nggak enak dan tempat serta suasana kurang wajar. Mau dikata gimana lagi, nggak mungkin nunggu sampe satu jam berikutnya kan buat dapetin yang AC.

Oke semua berjalan lancar sampe akhirnya gue menginjakan kaki gue di stasiun yang gue tuju. Karena kesendirian gue, maksudnya gue sendiri ke Jakartanya, dengan pakaian seadanya yang gue pake, celana jeans seminggu di pake, sepatu belom di cuci abis keujanan, kaos tadi pagi, cardigans item belel, tas esprit yang udah dekil padahal baru, rambut poni kebelah-belah ditambah cepolan seadanya dengan keringat, tapi tetap wangi baby cologne (nggak penting).

Ya dan gue keluar sambil bawa gulungan karton item buat bikin scrapt, gue jalan lurus kedepan sambil nyari-nyari karcis kereta Rp.2000,- gue yang mau di periksa petugas. Entah kenapa karcis gue keselip entah berantah, gue ngudek-ngudek tas yang isinya nggak karuan, boro-boro ada buku pelajaran, akhirnya ketemu dan gue senyum sumringah, dan gue nengok ke seberang rel kereta. Dan yang gue lihat adalah orang yang males banget gue temui tapi sialnya dia sudah terlanjur engeh dengan keberadaan gue dari tadi. "Mati gue!" rasanya pengen ngilang cepet-cepet. Dan dia mendekat, gue bergerak cepat dan tebak kebodohan yang gue lakukan adalah menjatuhkan gulungan karton yang gue bawa gara-gara karet gelangnya putus. 

Fadil..!" dan gue refleks nengok. "Eh..hai!" gue diem pengen masuk ke dalam tanah rasanya -_-. "Darimana?" dia nanya sambil ngeliatin gue, ya ampun dekil amat ini gue. "Dari Bogor, lo mau kemana?". "Nungguin orang". "Oh sendiri?" gue bertanya dan datanglah orang yang secara nggak langsung gue tanyain keberadaannya. "Nggak nih sama Om". "Oh hai Om!" sapa gue. "Eh ya ampun udah lama nggak ketemu". "Iya he..he.." no expression. "Yaudah gue cabut duluan ya, Nat!". "Eh..Oh..Iya hati-hati ya, Dil!". "Sip, mari Om!" dan gue langsung pergi, ngasih karcis gue dan naik angkot.

Dan yang gue temui adalah orang yang aneh sedunia. My ex.boy friend sekitar awal bulan april kemarin kalo nggak salah, yang cuma seminggu jadian, yang lucu mukanya tapi tingkahnya aneh banget. Pacar yang nggak pernah gue exposs karena gue masih ragu banget sama keputusan gue waktu itu. Dan see! gue mutusin nggak nyampe seminggu deh. Intinya, gue udah bener-bener nggak mau ketemu dia lagi. Dan hari ini gue ketemu -_- Lucu sih tambah manis lagi senyumnya tapi tetep aja di mata gue aneh, gue nggak suka. Pertama, karena dia selalu pergi kemana-mana bersama Om nya yang notabene adalah asisten bokapnya. Kedua, seharusnya dia udah satu angkatan di atas gue dan faktanya dia satu tahun di bawah gue. Dan fakta yang gue dapet setelah gue ilfil dan mutusin dia adalah dia emang aneh. "Cakep-cakep kok aneh!" itu komentar temen-temen gue yang satu sekolah sama dia. Gue juga bingung kok bisa mau jadian haha.

Banyak juga ya yang gue tulis, tapi yang pasti ini semua belum mencakup semua yang gue alami di Bogor. Sampe sekarang capek, lemah, letih, lesu dan teman-temannya selalu gue anggap sebagai challenge dan selalu seru buat gue. Walaupun bukan berarti gue nggak mengalami masa labil yaa. Gue ngalamin kok, tapi udah nggak sesering biasanya atau mari kita katakan udah nggak gue anggap sesering biasanya karena lebih banyak hal penting yang harus gue pikirkan selain cuma kata-kata terakhir yang bego dan sempet gue percaya!!! Oke stop! That's it. Besok gue mesti balik ke Bogor lagi dan wawancara dan ngurusin ulang tahun radio. Wish me luck yaa!

Nyokap gue barusan bilang "Gimana nggak tembem, malem-malem makanin coklat sama minum susu ckck!".
n.b. Asisten Praktek Biologi gue manis juga!
Temen gue, Bella, bilang gini waktu praktek Biologi kemaren "Dil..Dil.. nggak tau yaa, lo nyadar nggak sih, kayanya teh si ka *biiiiip* suka sama elu deh!" dan kita ngakak bareng.

...

Wednesday, September 29, 2010

The Black Pearl

Ina benar, bukan hanya salah satu dari kami yang salah, tapi rasa ketakutan yang ada dalam diri kami masing-masinglah yang menyebabkan semuanya menjadi seperti ini, tak pernah terselesaikan, tak pernah ada keputusan dan tak pernah ada akhir. Hanya saja diriku memang belum bisa benar-benar siap dan mengatakan kemana arah tujuannya. Ketika ada seseorang yang berkata bahwa hidup seperti air yang mengalir, benarkah? Apakah kita juga harus terus mengikuti aliran tersebut di saat kita ingin sejenak ke tepi? Bukankah kita yang menentukan jalan dan Tuhan yang mempersiapkan?
Malam ini yang kulakukan adalah berteriak sambil mengungkapkan semua pertanyaan ini kepada Ina, ya tentu saja dia diam saja. Maaf untuk mengganggu mu , tapi siapa lagi yang bisa ku tanyai sekarang ini, tak ada. Kalau ada kesempatan lain untuk mengulangsemua yang telah aku lewati di hari itu, maka aku benar-benar tak ingin mengulangnya lagi karena artinya aku hanya akan menyakiti diri ku sendiri untuk yang kedua kalinya. Iya kan, Na?

Wednesday, September 15, 2010

Latest News

Hi, long time I'm not posting something in here. Only my project, right?
Well, memang tidak banyak yang akan saya katakan sekarang ini. Just read my others blog in here! tenang aja, aku tidak menduakan blog yang ini kok. "This blog still be the one, I promise!". Nah, yang satunya gw buat karena memang ada blog wajib di tempat gw kuliah. Ya whatever lah itu. Yang pasti gw bakal tetep rajin ngepost. You know how I do really love writing!!! Jadi, nggak mungkin gw off nulis kalo nggak bener-bener ada yang salah dalam diri gw. Well cukup sekian. Eh, baca blog gw yang satunya yaa! karena gw baru bikin cerita baru (sebenernya tugas buat ospek -_-).
I have uniquely relation with someone lho! (bukan pacar, bukan temen)
You know, gw ngedownload semua lagu MOCCA, I just like it so much!
Oke see you soon, readers!
Minal Aidin Walfaidzin juga yaa

...

Freedom

(Lanjutan Bab 2)
..................................................................
“Mba Asa..Mba..Mba..” terdengar panggilan yang di sertai ketukan pintu berulang-ulang di telingaku. Ya beginilah jadi anak kos, masih belum bebas, masih ada ini itu, orang-orang banyak. Walaupun tadinya aku pikir it will be good, ternyata mendingan tinggal di rumah deh. Seriously! Lebih nyaman, makanan terjamin, tidur nyenyak, ada yang bantuin beres-beres. “Oh my God, I miss my home, especially my bedroom!” batinku.
“Mba..Mba..” dan ketukan pintu kembali terdengar. Rasanya malas sekali untuk bangun dari tempat tidur dan membuka pintu. Jam kamarku menunjukan pukul 10. Setelah melihatnya aku langsung melengos malas sekali. Untung hari ini jadwal kuliah ku sedang kosong. Karena merasa tidak enak dengan si pengetuk pintu, akhirnya aku bergegas menuju pintu kamar dan membukakannya.
“Iya, ada apa?” kataku sambil membuka pintu. Ternyata Mba Atun yang dari tadi mengetuk pintu. Dan yang pertama terlihat bukan mukanya, yang terlihat malah sebuket bunga mawar merah yang masih segar dan wangi.
“Nih mba Sa..” sambil menyodorkan bunga mawar merah tersebut dan tersenyum mesem-mesem. Mba Sa, Mba Atun selalu memanggilku begitu. Biar nggak ribet, gitu alesannya. Mba Atun adalah pembantu di kosan yang aku tempati, orangnya baik sekali. Dia selalu tersenyum dan terlihat ikhlas apabila membantu seseorang. Namun, sayang sekali dia harus menjadi pembantu di usianya yang masih muda. Dia hanya berbeda satu tahun di atasku. Alasannya bekerja menjadi pembantu adalah karena tidak ada biaya untuk kuliah, jadi apa boleh buat. Mau di paksain bagaimanapun juga tidak akan kesampean. Kedua orang tuanya sudah tidak ada. Rasanya miris sekali kalo mendengar cerita Mba Atun. Tapi, belum ada yang bisa aku lakukan untuk membantunya. Selain, berterimakasih dan selalu menghargai apa yang di lakukannya.
“Ha apaan nih, mba?” tanyaku sembari menerima buket bunga mawar tersebut.
“Bunga atuh mba Sa” jawabnya dengan seadanya.
“Yee itu juga aku tau mba. Dari siapa gitu? Rajin bener” aku bertanya sambil terus mengingat-ingat siapa orang baik yang mau memberikan bunga ini. Apa mungkin penggemar rahasia? Dan jaman sekarang ada gituan gitu. Impossible, man!
“Dari tukang bunga, mba Sa. Tadi jam sembilanan di anterin” jelasnya.
“Oh gitu, yaudah makasih ya mba Atun” aku tersenyum dan menutup pintu, masuk ke dalam kamar. “Ah palingan juga, si Eyas nih kerjaannya. Tapi ngapain ya dia repot-repot? Kenapa dia nggak langsung kasih aja?” batinku. Dan yang ku lakukan selanjutnya adalah memencet nomor telepon Ega di ponselku. No name. Benar-benar bikin penasaran memang. Satu hal yang pasti adalah tidak mungkin pengirimnya itu cewek kan. Lagipula hanya satu kemungkinan pria yang mengirimi aku bunga mawar ini. Ya Ega.
“Halo..kenapa Sa?” Tanya Ega di telepon.
“Hmm..thank you for the red surprise nya ya, Yas!” kataku sambil tersenyum sumringah.
“The red surprise? Dan can you tell me what is that?” suara Ega terdengar ragu.
“Eh, lupain deh. Mau tidur lagi nih ngantuk. Bye..” klik. Telepon sengaja ku putuskan karena aku tahu, dugaan  kali ini meleset. Bukan Ega yang mengirim mawar merah ini. Jadi siapa? Aku masih terus memutar otak ku untuk  menemukan dugaan lain. Namun sia-sia. Ya dan sekarang yang aku lakukan adalah meneruskan waktu tidurku.
Dan hari ini tepat dua bulan aku lalui, hari-hari ku terlihat baik-baik saja. Tidak ada masalah dengan semua kegiatan rutin yang ku lakukan. Kuliah, makan, pergi dan hal semacamnya dan tentu saja masih bersama Ega. Namun, hal yang berbeda dalam dua bulan ini adalah sebuket bunga mawar yang terus-terusan datang ke kamar kos an ku, dia antar oleh mba Atun. Penasaran? Banget. Aku bahkan sudah menunggu si pengirim bunga apabila datang. Tapi sayangnya, setiap aku berada di depan kos an, menunggu si pengirim, bunga mawar merah itu pasti tak kunjung datang. Dan yang mengherankan, ketika aku masuk ke dalam kamar sebentar saja, tiba-tiba mba Atun datang mengetuk pintu dan kembali membawa bunga mawar merah tersebut. Ya dan begitulah kehidupan dua bulanku.
Ega tahu tentang bunga mawar merah yang selalu datang ke kosan ku. Dan sepertinya itu bukan masalah untuknya. “Aku ataupun kamu nggak perlu khawatir, karena cuma orang bodoh dan pengecut yang diam-diam mengirim bunga mawar tanpa ada nama pengirimnya”. Well ya, aku setuju untuk pernyataannya. “Jangan memikirkan kan hal sepele seperti ini, lagi pula too many things that you must thinking beside that”. Dan aku setuju.
Dan kembali ke hari minggu, hari yang selalu aku habiskan di panti jompo bertemu dengan Ibu Pratiwi dan Pak Sunarya. Dan yang berbeda di hari minggu ku kali ini adalah aku tidak berkunjung sendiri tapi berdua. Dengan Ega. Ini adalah pertama kalinya aku mau mengajaknya ke panti, sebelumnya Ega selalu memaksa ikut tapi tak pernah aku ijinkan. Tidak banyak yang di bicarakan Ega sepanjang perjalanan kami menuju panti. Dia hanya bertanya apa yang akan kami lakukan ketika sampai di sana. Dan aku hanya menjawab “Just wait and do, Yas!” dan Ega mengangguk tenang. Manis sekali, aku menyadari ada yang berubah dari raut mukanya. Ega terlihat lebih dewasa hari ini dengan kaus putih dan jeans hitam di padu dengan kacamata yang selalu di gunakannya saat menyetir. Benar, ada yang berubah, tapi aku masih belum menemukan apa yang berubah, bukankah dia memang selalu pergi denganku dengan setelan seperti ini? Lalu apa yang berbeda, aku belum bisa menerkanya.
“Sudah sampai, Sa” katanya membuyarkan lamunanku. Dan aku tersadar, aku sedang menatapnya, ini membuat ku langsung salah tingkah di hadapannya.
“Oh oke, ayo turun, langsung aja” kataku dengan sigap membuka pintu.
“Eh hati-hati Sa, kita belum masuk parkiran pantinya, masih di depannya, coba lihat!” Ega menunjuk papan panti yang masih menunjukan bacaan 200 meter lagi. Dan aku melakukan hal bodoh lagi.
“Katanya tadi udah sampe? Gimana sih!” kataku geram. Menyembunyikan wajahku yang bersemu merah karena malu sekaligus salah tingkah. “Aduh kenapa sih lo, Sa!” bisik ku.
“Kenapa Sa?” tanya Ega yang ternyata mendengar bisikan ku.
“Hmm nothing, cepetan yu! Nggak enak udah di tungguin” kataku mengalihkan. Tak sampai lima menit, kami sudah tiba di pelataran parker panti. Rasanya rindu dan tentram sekali ketika sampai di ruang tamu panti ini. Walaupun baru minggu kemarin aku berkunjung ke sini.
“Eh kamu sudah sampai, nduk!” Ibu Pratiwi langsung datang menyambut kedatangan kami dengan senyum ramahnya. “Ini siapa, nduk? Nggak di kenalin nih!” lanjutnya dengan nada menggoda sembari melihat ke arah Ega.
“Saya Ega, Bu. Temannya Asa” Ega menyalami Ibu Pratiwi sambil membalas senyumnya yang ramah.
Oalah, baru pertama ya  ke sini?” tanya Ibu Pertiwi.
“Iya Bu. Baru di bolehin nih sama si Asa” jawab Ega dengan nada jail dan melihat ke arah ku.
“Ih nggak Bu, dia nya aja baru sempet ke sini Bu” timpalku sambil menyengol bahu Ega. Ups, dan entah kenapa jantungku berdetak hebat saat bersentuhan dengan  bahunya. Aku berdiri dekat sekali dengan Ega, wangi parfum maskulinnya tercium di hidungku. Wangi sekali. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Seharusnya aku sudah biasa menghirup parfum ini sejak dulu, kan?
Yo wes, sok ayuk masuk aja langsung” Ibu Pratiwi mempersilahkan kami masuk ke dalam.
“Ih boong dosa tau!” Ega berbisik meledek di telingaku. Suaranya menentramkan sekali dan menambah kecepatan detak jantungku. Dan yang aku lakukan adalah bergerak mendahuluinya dan menarik napas dalam-dalam.
“Selamat pagi Pak Sunarya!” sapaku ketika sampai di kamar tidur Pak Sunarya. Beliau terlihat semakin lemah saja, pikirku.
“Hai, Berlianku!” sautnya sambil berusaha bangun dari tempat tidurnya.
“Eh eh nggak usah bangun Pak! Tiduran aja lagi” cegahku sambil berlari kecil menghampirinya.
“Bapak tidak mau terlihat lemah untuk kedatangan kamu, Berlian!” balasnya. Beliau tetap berusaha bangkit, yang akhirnya aku bantu.
“Aku bisa ngerti kok, Pak!” kata ku menenangkan. Sebelumnya Ibu pratiwi memang sudah mengabari tentang keadaan Pak Sunarya sekarang. Mungkin karena suda factor usia pula, jadi apa mau di kata. “Bapak apa kabar?” tanyaku.
“Baik, kamu apa kabar Berlian? Kamu terlihat lebih bersinar” pujinya sambil mengacak-acak rambutku.
“Ehem..ehem..” terdengar suara batuk seseorang yang di buat-buat. Dan aku lupa kalo aku datang ke panti tidak sendiri.
“Eh iya Pak. Ini teman saya, Eyas namanya” kataku memperkenalkan.
“Ega” Ega memperkenalkan diri sambil menyalami tangan Pak Sunarya yang di sambut dengan hangat.
“Loh Ega apa Eyas?” tanya Pak Sunarya bingung.
“Eyas, nama yang saya bikin-bikin Pak” jawabku cengengesan.
“Aduh anak muda sekarang itu romantis ya” goda Pak Sunarya.
“Ha roman..” belum sempat menyelesaikan ucapanku Ega menyelak berbicara.
“Iya dong Pak, namanya juga anak muda” Ega tersenyum dengan manisnya. Lesung di pipi kanannya terlihat, menambah porsi manisnya. Sejak kapan Ega punya lesung di pipi? Dan sepertinya aku benar-benar tidak pernah memperhatikannya. Terdengar tawa dari kedua pria yang selalu bersedia membantuku. Ega dan Pak Sunarya. Aku memejamkan mataku dan berbisik dalam hati “Ka Dean jangan cemburu ya!” lalu tersenyum.
Waktu di jam tanganku sudah menunjuk kan pukul 5 sore. Artinya kami sudah berbincang-bincang selama kurang lebih 6 jam dengan Pak Sunarya. Rasanya ingin lebih lama lagi berada di panti. Menemani Pak Sunarya makan, tidur, ngobrol dan lain-lain. Tapi tak mungkin, Pak Sunarya harus istirahat demi kesehatannya dan kami pun harus segera pamit. Sebelum pergi meninggalkan Pak Sunarya, Beliau membisikan ku sesuatu. “Kalo bisa berdua kenapa harus sendiri, cah ayu!” begitu bisiknya. Aku hanya tersenyum dan segera mengejar langkah Ega di depanku.

Saturday, September 11, 2010

Freedom

BAB 2
Quand tu aimes quelqu'un

“Sa, ada telpon dari orang rumah tuh tadi ke handphone lo. Kayaknya lagi urgent banget deh” jelas Wina. Hal ini membuat aku langsung bergegas mengambil ponselku dan menelepon kembali nomor rumah yang ada di panggilan masukku tadi.
“Halo, kenapa Bi?” tanyaku tergesa.
“Anu Non, Ibu sakit lagi Non!” jawab Bik Sumi.
“Sakit lagi? Terus sekarang keadaannya gimana, Bi? Udah ke dokter?”
“Udah Non. Kata pak dokter, anu Non, Ibu banyak pikiran akhir-akhir ini, kebanyakan kerja sama capek di kantor” penjelasan yang cukup membuat diriku tak heran kalau Bunda akan jatuh sakit lagi. Bunda tidak pernah kenal lelah untuk bekerja, walaupun menurut ku, kami sudah cukup tanpa Bunda harus terus bekerja di kantor. Setidaknya Bunda bisa mengontrol usaha percetakannya dari rumah, tanpa harus repot-repot ke kantornya. Dan inilah yang selalu membuatku kesal. Yah apa mau di kata, Bunda sekarang sudah jatuh sakit. “Pasti di percetakan sedang ada masalah” pikirku.
“Oh oke deh, Bi. Besok pagi aku telpon lagi, aku belum bisa pulang, mungkin bulan depan, aku sempatkan. Bilang ke Bunda, jangan lupa minum obat ya Bi, jangan ke kantor dulu, kalo bisa sampe aku pulang, Bunda mesti harus ada di rumah ya Bi, janji!” tegasku. Aku hanya tak mau Bunda terlihat lemah dan rentan. Itu akan selalu membuatku takut kehilangan lagi.
“Eh iya Non, janji deh Bibi janji suer!!!” jawab Bik Sumi dengan nada khasnya. Bik Sumi yang selalu setia menemani aku sewaktu aku di Jakarta semenjak ka Dean tak ada. Bik Sumi yang selalu mengajakku bercanda saat aku mulai mengingat ka Dean. Dan sekarang semenjak aku di Jogja, Bik Sumi punya tugas baru yaitu menjaga dan menemani Bunda di bawah pengontrolanku.
Aku menghela napas setelah menutup telpon, rasanya berat sekali. “Nyokap sakit lagi, Win!” aku mengabari Wina yang sedari tadi duduk di sampingku sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya. Wajahnya terlihat sangat khawatir dengan keadaan Bunda.
“Oh oke, wish your mom get well soon, honey!” Wina mencoba menyemangatiku dengan manisnya.
“Thank you, Win!” dan aku memilih untuk tidak mengambil pusing tentang berita tak mengenakkan ini. Rasanya aku melakukan kesalahan karena meninggalkan Bunda di Jakarta dengan kesibukannya. Sedangkan aku di Jogja, karena pilihan hati yang memang aku inginkan.
Bunda selalu memberikan aku kebebasan untuk menentukan apa yang akan menjadi pilihan hiduku. Bunda tidak pernah cemas dengan apa yang aku lakukan. Tidak seperti perhatian yang dia berikan kepada ka Dean. Sewaktu ka Dean masih hidup, yang aku tahu, Bunda selalu menanyakan apapun yang akan ka Dean lakukan secara detail. Bahkan aku sempat cemburu sekali, karena aku pikir Bunda pilih kasih. Ah mungkin hanya perasaanku saja. Mungkin waktu itu Bunda sudah tahu dari awal kalo ka Dean sakit, makanya Bunda memberikan perhatian yang ekstra. Tapi aku juga sangat ingin di perhatikan seperti itu. Seperti teman-temanku sewaktu SD, SMP bahkan SMA yang masih di tanya sedang ada dimana, mau kemana, pulang ke rumah jam berapa dan sebagainya. Aku mau. Mau sekali. Tapi Bunda bilang, dia selalu sayang padaku apapun yang terjadi. Jadi, aku percaya. Aku selalu menganggap Bunda melakukan itu karena Bunda sayang dan memberikan kepercayaan kepadaku. Bunda tahu aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Bunda tahu kalo nanti aku membutuhkannya, aku pasti datang menemuinya dengan sendirinya. Ya, dan aku selalu menganggapnya seperti itu.

Siang ini terlalu indah apabila hanya di lewatkan begitu saja. Hari minggu indah yang selalu aku nantikan. Karena pada hari ini, aku akan pergi ke tempat yang sudah beberapa bulan terakhir ini aku kunjungi. Tempat yang membuat diri ku terkenang dan teringat akan sesuatu. Sesuatu yang semua orang akan alami, bagaimana pun caranya. Cepat atau lambat. Semua orang akan mengalami proses ini. Proses menjadi tua. Ya panti jompo. Sebuah panti yang berisi kakek dan nenek yang sudah rentan, tidak kuat lagi seperti waktu mereka muda.
Satu hal yang selalu ku pertanyakan, mengapa mereka tidak berada di rumah mereka masing-masing menikmati hari tua mereka? Atau mungkin mereka memang tidak mempunyai rumah? Atau keluarganya mencampakannya seperti yang ada di film? Mungkin apabila kita berada di luar negeri, hal ini adalah hal yang lumrah. Sudah tua ya sudah saatnya panti jompo menunggu Anda. Tapi masalahnya ini adalah Indonesia. Haruskah ada prinsip itu? Bukankah mereka pasti membutuhkan keluarganya daripada orang lain yang mengurusinya? Ya dan banyak sekali pertanyaan yang terus menerus bertambah setiap aku memikirkan hal ini.
Setiap hari minggu aku selalu menyempatkan diri pergi ke panti ini. Dan ini adalah minggu pertamaku setelah liburan panjang. Aku merindukan mereka semua, terutama salah satu dari mereka. Seorang pria dengan wajah yang sangat tenang, senyum yang menyejukkan dan hati yang luar biasa indah. Tapi tak banyak yang bisa dilakukannya sekarang ini, dia hanya dapat berjalan dengan bantuan tongkatnya, itu pun harus di bantu seseorang. Bapak Sunarya namanya. Dia adalah orang pertama yang menyapaku dan berkata “Kamu cantik seperti berlian!” lalu tersenyum.
Ibu Pratiwi, orang yang mengajakku berkeliling panti di hari pertama aku berada di sana sekaligus pemilik panti. Aku bilang kepadanya, kalo aku entah mengapa ingin sekali dapat dengan rutin datang mengunjung panti. Beliau menawarkanku untuk menjadi salah satu sukarelawan di panti itu. Panti Sinar Mulya namanya. Namun aku menolaknya dengan alasan belum terlalu siap dan memtuskan untuk rutin mengujungi mereka saja di setiap waktu luang yang ku punya. Aku juga bilang ke Bunda agar Bunda menyisihkan uangnya untuk menjadi penyumbang tetap di panti. Dan kali ini alasan ku adalah karena aku belum mapan dan dapat menghasilkan uangku sendiri. Jadi ya mau tak mau lah! “Selamat pagi Ibu Pratiwi! Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu, aku rindu” sapaku sambil tertawa cengengesan.
“Ya Allah, Gusti. Kangen banget Ibu sama kamu, nduk!” sapanya dengan pelukan yang hangat dan menenangkan.
“Ini Bu, aku bawa gudeg beli di deket kos tadi, enak lho!” kataku sambil memberikan bungkusan gudeg kepadanya. “Pak Sunarya ada Bu?” tanyaku celingukan melihat sekitar.
Oalah, makasih ya cah ayu! Ada kok, coba masuk aja gih, ada di beranda sepertinya” jawabnya.
“Oke, aku permisi dulu ya Bu” aku langsung bergegas menuju beranda. Tak sabar bertemu dengan seseorang yang selalu menjadi sumber kritik dan saran akan hidup serta permasalahan yang sedang aku jalani. Tak ada alasan untuk tidak merindukannya, bukan?

Kamu seharusnya bisa menjadi kuat atas kemauan kamu, berlian! Bukan atas kemauan sekeliling kamu. Mengerti?
Ini lah kritik dan saran yang terngiang di pikiranku sepanjang perjalanan pulang. Setelah bercerita banyak tentang apa yang aku mau di ulang tahunku, tentang ketegaran seseorang yang selalu ada di sampingku, tentang Bunda yang sedang sakit dan semua yang ingin aku ceritakan. Rasanya lega sekali setelah bercerita panjang lebar tanpa harus takut ada yang tersinggung, tanpa takut ada yang membocorkannya, tanpa takut ada yang memarahiku. Karena yang aku dapatkan adalah banyak cerita baru darinya. Cerita kehidupan pak Sunarya yang jauh lebih pahit dari apa yang pernah aku alami, aku lihat, aku dengar ataupun aku tonton di film. Beliau selalu memanggilku berlian dengan alasan memang belum ada yang mengalahkan kecantikan berlian di dasar laut selama hidupnya.
Tak ada yang tahu seseorang yang sebelumnya mempunyai pekerjaan, rumah, harta dan segala sesuatu yang layak harus hancur lebur begitu saja karena keegoisannya. Pak Sunarya memang tidak di buang atau sengaja di asingkan oleh keluarganya. Melainkan, beliau sendiri yang menginginkan tinggal di panti dengan sendirinya. Beliau hanya ingin mendapat ketenangan tanpa harus memikirkan apa pun. Semua keluarganya sudah memintanya untuk kembali ke rumah, tapi tak ada yang bisa merubah keputusannya. Keinginan untuk menjauh dari kehidupan yang terlalu rumit dan tak berhujung, begitu katanya.
Bukan kah semua hidup pasti tidak ada ujungnya? Kecuali kita memberhentikan hidup kita detik dimana kita mau. Bukan kah hidup itu pilihan? Ini selalu menjadi panutan hidupku. Lagi pula aku sudah besar, pak Sunarya juga begitu, dia sudah menentukan pilihan hidupnya terhenti sampai di situ, dimana dia menghabiskan hari-harinya dengan merenung di beranda atau sekedar berkeliling dengan tongkat dan bantuan seseorang. Ya dan menurutku itu adalah pilihan hidupnya.
Banyak hal yang aku alami selama 18 tahun tentunya. Mulai dari aku lahir, aku suka warna putih, belajar mengikhlaskan, belajar memahami, belajar banyak hal, sampai sekarang aku bisa berpikir dan berusaha untuk mendapatkan apa yang aku inginkan dengan caraku sendiri, menurutku itu adalah pilihan. Pilihan hidupku. Dan tak ada yang bisa mengubahnya.
Terkadang ingin rasanya aku merasakan yang namanya sakit hati atau hanya sekedar menangis karena baru saja putus seperti teman-temanku yang lain. Tapi sayangnya tak bisa. Aku sudah memprogram pikiranku untuk melakukan hal yang berguna dan membuang yang tak berguna. Dan menurutku merasakan hal yang di rasakan anak remaja di masanya adalah hal yang tak berguna. Dan itu adalah pilihan.
Malamku kali ini aku habiskan untuk berpikir banyak hal yang menurutku sudah lama tak aku pikirkan semenjak aku menjadi orang lain. Atau malah tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Ya apa pun itu malam ini aku merasa bebanku berkurang karena merasa bukan hanya diriku saja yang akan menyelesaikan semua permasalahan ku kini atau pun nanti. Namun ada seseorang yang akan selalu bersedia membantuku dan memberikan aku semangat.
Malam semakin larut dan aku belum berada di kamar kos ku. Ya aku masih berada di alun-alun. Duduk di salah satu warung kopi yang selalu aku kunjungi saat berada di alun-alun. Membeli secangkir susu putih panas dan pisang bakarnya. Angin datang silih berganti, menusuk pori-pori kulitku, terasa sekali. Asap di cangkir susu menambah suasana malam yang indah untuk hari yang indah. Hari ini aku menikmati sekali hidupku, setelah ke panti dan sampai saat ini berada di pinggir jalan dengan kesendirian dan di temani dengan ribuan pikiran, pertanyaan dan pernyataan, aku merasa sepertinya sebentar lagi aku mulai mengenal diri ku sendiri. Cepat atau lambat.
Namun lamunanku buyar ketika ponselku berdering. Aku melihat panggilan dari Eyas di layar ponselku. “Ya halo, Yas! Any problem?”
“Ha ya ampun masih nanya ada masalah apa nggak? See your watch, Sa” perintahnya yang langsung aku turuti.
“Two o’clock, Yas” jawabku sekenanya.
“And now tell me, where are you? I’ll pick you! Ini udah pagi, kamu belum pulang. Ini Jogja Sa!” sautnya panjang lebar. Tak lama dari itu, cukup 15 menit menunggu dan terlihat Ega di dalam mobilnya. Mukanya terlihat khawattir. Aku menghela napas. “Ya dan inilah pilihan hidupnya seorang Ega, no one can chage it!” batinku sambil tersenyum kecil. Dilanjutkan masuk ke dalam mobil dan mendengar banyak nasihat yang keluar dari mulutnya. Mau tak mau, sepertinya hari ini akan aku nobatkan sebagai inspiratif day!
...

Monday, September 6, 2010

Freedom

(Lanjutan BAB 1) 
“Sa, wake up! Bentar lagi nyampe nih. Kenapa sih kita ga naik pesawat aja, jadi kan ga perlu pegel cape lama pula..” Andina, cantik, tinggi, putih, berkacamata dan idaman semua pria.
 “Adeuh.. kalo gw tau bakal kaya gini rame nya, terus kita dapet kelas ekonomi gini. Gw juga nggak mau kali, Ndin!” Nah kalo yang ini Wina. Kalo anak gaul sekarang bilang sih BBB (Behel, BlackBerry, Belah tengah). Walaupun sebenernya aku juga nggak terlalu ngerti maksudnya, tapi kalo di lihat-lihat. Ya memang begitulah dia.
 Sialnya memang begitulah keadaan kami, lelah, kucel. Karena udah abis masa libur panjang, artinya semua orang pulang ke asalnya masing-masing. Alhasil, beginilah kami, dengan tiket yang di jual di calo dan dengan harga yang selangit pula. Tapi apa mau di kata, liburan telah usai, walaupun rasanya masih ingin berlama-lama di Jakarta.
 “Dasar cewe!” Celetukan seseorang yang bahkan tak ada satupun dari kami yang kenal. Dan serentak kami menengok. Pria dengan postur tubuh tinggi, bersih, dan ikal. Hanya itu yang dapat kulihat, karena penuhnya orang yang ada di dalam kereta.
 “Udah nggak usah di ladenin!” Suara serak-serak basah yang berwibawa terdengar karena melihat wajah Wina dan Andina yang terganggu dengan celetukan tersebut. Ega, cuma ada beberapa kata yang bisa menggambarkan bagaimana Ega. Supel, ga mecem-macem, asik, idaman semua wanita. That’s it! Dan semua orang tahu akan hal itu, termasuk aku.
“Males gila ih! Kapan nyampe sih, katanya bentar lagi” Andina mengeluh lagi dan sepertinya sudah keluhan untuk kesekian kalinya.
“Sa, tas kamu udah di prepare? Yang mana sini aku ambilin” Ega bertanya dengan muka tulusnya.
"Ya dia selalu tulus, selalu saja. Aku tak tahu menganpa dia selalu memberikan perhatian lebih kepadaku. Ega Agatha Sofyan. Teman sejak SD, SMP, SMA dan ternyata kami satu fakultas pula. Aku juga tak mengerti, mengapa Tuhan mempertemukan kami berdua bahkan sampai detik ini. Ega, entah mengapa aku lebih suka memanggilnya Eyas. Singkatan dari namanya, yang sebenarnya rada aneh menurut teman-teman ku yang lain, tapi aku suka. Dan dia tidak pernah menolak. Aku ingin sekali saja mendengar satu kalimat penolakan dari mulutnya. Tapi, bahkan Eyas tak pernah berkata “Maaf aku nggak bisa” atau “Aku nggak suka”. Dia benar-benar tidak pernah mengucapkannya.
Dan yang aku lakukan untuk menjawab pertanyaannya adalah hanya menunjuk dimana letak tasku dan kembali melihat pemandangan di luar jendela. Itu yang selalu aku lakukan kepadanya. Bukan karena aku hanya memanfaatkannya. Tapi, karena aku benar-benar tidak suka dengan caranya memperhatikan ku. Membosankan. Bahkan dia tidak pernah membiarkan aku bergerak dengan caraku sendiri. Bertahan di setiap masalah yang aku hadapi. Eyas selalu ada di sampingku, bahkan ketika aku benar-benar tidak membutuhkannya. Dia selalu begitu. Dan akan selalu begitu.
Embun pagi terasa menyejukkan sekali di tubuhku. Udara dingin seperti menusuk-nusuk tulang rusuk ku. Aroma lembab embun yang bersatu dengan aroma tanah yang selalu aku nantikan ketika sampai di sini. Yogyakarta. Rasanya ingin cepat-cepat pergi mengelilingi Jogja lagi. Berlari pukul 5 dini hari. Itu yang selalu aku lakukan, kegiatan rutin ketika aku sampai di Jogja. Dan Eyas selalu ada menemaniku walaupun aku tak pernah meminta. Rasanya jenuh sekali melihat, mendengar, berbicara dengan orang yang sama setiap saat.
“Kenapa Eyas tidak langsung pulang saja ke tempat kosannya seperti yang di lakukan Andin dan Wina? Kenapa dia mau selalu repot-repot menemaniku?” Bisik ku dalam hati. Aku mau bertanya, selalu ingin bertanya. Tapi, Eyas selalu berubah sikap ketika aku yang memulai pembicaraan. Eyas selalu berubah dingin, ketika aku memulai topik baru yang bukan berasal darinya. Eyas selalu terlihat gugup, ketika sebenarnya aku hanya ingin bertanya “Kamu kenapa terlalu baik sama aku?” atau sekedar basa-basi lainnya. Tapi aku tahu yang akan aku lakukan sekarang ini adalah bertanya tanpa harus repot-repot membuatnya berubah untuk beberapa waktu saja.
“Yas..” panggilku pelan.
“Hmm ya?” jawabnya singkat.
“Kamu mau tau nggak permintaan di 18 tahunku?”
“Kenapa aku harus tau? Do you wanna tell me?” aku mengangguk pelan.
“Aku cuma pengen jadi diriku sendiri mulai dari sekarang dan selamanya”
“Maksudnya? Kamu nggak jadi diri kamu sebenernya sebelumnya?” aku mengangguk.
“Oh come on! Will you explain it?” sambungnya.
“Kita udah kenal berapa lama?” tanyaku.
“Hmm lama banget. I guess almost 12 year, right?”
“Kamu ngerasa ada yang beda nggak sama aku sekarang?” Eyas mengganguk ragu.
“Dan itu yang mau aku tanyain ke kamu, apa yang beda?”
“Ini adalah obrolan terpanjang yang pernah kita lakuin..” jawaban yang membuatku tersentak keluar dari mulutnya.
“Dan..” pancingku.
“Dan I just don’t care with all of things that making you be someone else. Aku tau kamu pasti punya alasan tersendiri, am I right?” senyum tulus itu terlihat lagi di wajahnya. Dan yang aku lakukan hanyalah menunduk dalam-dalam.
“Sorry for everything” dan hanya itu yang dapat aku katakan. Entah mengapa dadaku terasa sesak. Rasanya ingin sekali menangis.
“Hei, look at me! Kamu kenapa Sa? Are you okay?” Dan ini adalah pertama kalinya aku melihat Eyas bahkan tidak terlihat gugup sedikitpun atau terlihat dingin setidaknya. Ya dan ini juga adalah pertama kalinya aku ingin sekali bersandar di pundaknya dan menangis sejadi-jadinya. Aku ingat apa yang aku lakukan ketika Bunda menangis waktu itu, aku tahu Bunda hanya butuh pelukan. Mungkin aku juga. Aku menangis di pundaknya, entah seberapa lama, yang aku tahu, Eyas membiarkan itu semua terjadi begitu saja. Di tengah tanah lapang alun-alun kota Jogja pukul 6 pagi aku menangis sejadi-jadinya tanpa ada yang harus aku pikirkan. Dan itu adalah pertama kalinya aku merasa ka Dean sedang tersenyum senang sekali.
Seperti biasa Eyas selalu berada di beranda kosanku tepat satu jam sebelum kelas ku di mulai. Aku tidak pernah meminta. Aku tidak pernah mengharapkan. Tapi Eyas seperti malaikat yang di kirimkan Tuhan untuk menjagaku. Eyas adalah satu-satunya orang yang menjagaku ketika ka Dean pergi meninggalkan aku dan orang yang di cintainya untuk selamanya. Eyas berlagak seperti dia mengerti duka ku, mengerti apa yang aku rasakan saat itu, mengerti bagaimana rasanya kehilangan dan belajar mengikhlaskan. Dia selalu belagak seperti itu.
Faktanya aku tidak pernah benar-benar mengabaikannya. Aku mengagumi sosoknya bahkan sampai detik ini. Mungkin bukan hanya diriku saja. Tapi semua orang yang mengenalnya. “Terlalu munafik untuk tidak merasa nyaman berada di dekat Ega”. Itu yang aku dengar dari sekumpulan wanita yang ada di kamar mandi ketika aku SMA. Dan aku menyadari itu sejak awal. Hanya saja aku takut merusak peran yang sedang aku mainkan sewaktu itu. Peran sebagai si Nona Cuek. Itu adalah peran ku sewaktu SMA. Aku bahkan tidak pernah mempedulikan siapa pun dan apa pun di sekitar ku. Kecuali aku dan diriku. Bukan berarti aku cewek super kurang pergaulan atau cewek yang di kucilkan oleh teman-temanku. Aku tetap punya teman, banyak malah. Aku juga punya pacar, walaupun akhirnya putus karena pada akhirnya mereka yang pernah menjadi pacarku cemburu dengan keberadaan Eyas. Ya ya ya dia lagi dia lagi.
“Udah siap Sa?” tanya Eyas di telpon.
“Sebentar ya”
“Oke I’m with you” jawaban singkat dan jelas.
Aku hanya menggunakan kaos oblong di lapisi dengan kemeja merah kotak-kotak yang kebesaran, celana jeans butut dan sepatu kets yang tentunya sudah butut. Rasanya malas sekali untuk memulai pelajaran di kampus. Aku berjalan dengan langkah gontai menghampiri Eyas yang langsung membukakan pintu mobil Honda Jazz birunya.
“Kamu beda deh Sa!” sapaan pertama yang keluar dari mulutnya.
“Beda gimana?” aku memulai untuk memperbanyak obrolanku dengannya. Karena biasanya aku hanya menjawab “Oh”.
Eyas tersenyum tulus lagi. “Lebih supel aja”
“Just do what I wanna do, Yas”
“Jadi kalo yang kemaren-maren bukan kamu yang mau?” tanyanya heran.
“Only me and my self that knew about it!” jawabku sambil tersenyum.
“Lo ngerasa nggak sih ada yang berubah dari si Asa, Win?” tanya Andin asal.
“Berubah gimana? Aneh deh ah!” jawab Wina ala kadarnya karena dia sedang sibuk dengan BlackBerrynya.
“Iya dia jadi lebih banyak senyum, banyak ngomong juga dan yang paling aneh nya dia jadi sering banget ngobrol sama Ega!”
“Loh emangnya sebelumnya dia nggak ngomong gitu?” tanggap Wina cuek.
“Let me guess, I think she is falling in love with Ega, oh my God!!! News banget ini” ternyata pernyataan ini bisa ngebuat Wina berpaling dari kesibukannya tadi.
“Maksud lo? Mereka bakal jadian gitu? Hellooo my sweetie Andina Mellia, it’s so impossible, you know that, right?”
“Yee jaman sekarang gitu ada yang namanya nggak mungkin kah?”
“…”
“Win, lo dengerin gw nggak sih?”
“Eh bentar-bentar, lo liat cowo yang ada di situ deh tuh!” tunjuk Wina.
“He eh. Kenapa emang?”
“Kaya pernah liat gitu, dimana ya? Lo juga nggak sih?” tanya Wina penasaran.
“And I don’t really care, dear! Cabut yu ah!” ajak Andin, mengabaikan.
 
Malam ini adalah malam ketiga setelah hari ulang tahunku. Dan kini aku tak sendirian melewati malam dengan pemandangan langit Jogja yang terlihat mendung. Di sampingku ada seseorang yang bersedia menemaniku, namun kali ini lain. Aku yang memintanya untuk menemaniku dan seperti biasa pula, dia tidak akan pernah menolak. Aku memintanya untuk menemaniku di alun-alun seperti waktu itu. Aku merasa ada sesuatu yang datangnya bukan dari siapa-siapa melainkan diriku. Aku merasa sesuatu yang pernah hilang, datang lagi untuk pada akhirnya tetap ada dan tidak pergi walaupun seharusnya sesuatu itu pergi. Aku merasa ada kedamaian ketika aku memikirkan sesuatu tersebut. Hanya saja, aku belum yakin akan sesuatu tersebut. Itulah sebabnya aku masih belum ingin mentakan tentang sesuatu tersebut. Benarkah atau hanya keinginan dan harapanku saja akan sesuatu tersebut.
Di sampingku ada Ega, ya dia hanya menyempatkan waktunya untuk ku di tengah kesibukannya untuk mengurus hal lain yang mungkin memang lebih penting daripada hanya sekedar diriku.
“Yas..” panggilku.
“Ya?”
“Kenapa kamu selalu ada buat aku?” tanyaku pelan.
“Karena aku mau” jawabnya singkat.
“Aku nggak pernah minta”
“Aku juga nggak pernah mau di minta” balasnya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Karena aku nggak pernah mau liat kamu redup”
“Emang kamu siapa?” pertanyaan ini seharusnya tidak usah aku keluarkan. Oh bodohnya aku. Sekarang apa yang akan di jawabnya? Tanyaku dalam hati.
“…”
“Yas..”
“Aku Ega Agatha Sofyan” jawabnya polos.
“Aku tahu, Yas!” sautku singkat.
“Ya kamu tanyanya gitu”
“…”
“Yaudah deh di jawab nih, karena aku cuma mau kamu ada di samping aku, cuma itu aja”
“Kamu bahkan nggak pernah nanya aku, apakah aku nyaman atau nggak dengan adanya kamu, kan?”
“Aku cuma mau kamu”
“...” 
“Aku cuma mau kamu”
Kalimat inilah yang selalu berputar di otak ku untuk ke sekian kalinya. Aku hanya ingin mencoba mencerna, mengerti dan menerjemahkan apa maksud kalimat Ega malam itu. Pacaran kah? Tapi bahkan dia tidak pernah menunjukkan perasaannya seperti pria lain yang pernah mendekatiku. Atau dia menganggapku sebagai adik? Tapi dia selalu memperlakukan aku spesial dan berbeda bukan sebagai adik. Atau dia memang hanya ingin aku menjadi teman baiknya saja. Ya dan pemikiranku yang terakhir itulah yang masih akan aku jadikan patokan atas pernyataan Ega malam itu.
Setelah aku belajar menjadi diriku sendiri, entah mengapa, aku merasa ada yang lain dengan warna dan gradasi kehidupanku. Mungkin benar, menjadi dirimu sendiri memang lebih sempurna daripada ketika kau bermain peran dalam sebuah drama.
...

Sunday, September 5, 2010

I've got the new one!

The Corrs - What Can I Do lyrics

I haven't slept at all in days
It's been so long since we've talked
And I have been here many times
I just don't know what I'm doing wrong

What can I do to make you love me
What can I do to make you care
What can I say to make you feel this
What can I do to get you there

There's only so much I can take
And I just got to let it go
And who knows I might feel better
If I don't try and I don't hope

What can I do to make you love me
What can I do to make you care
What can I say to make you feel this
What can I do to get you there

No more waiting, No more aching
No more fighting, No more trying

Maybe there's nothing more to say
And in a funny way I'm calm
Because the power is not mine
I'm just gonna let it fly

What can I do to make you love me
What can I do to make you care
What can I say to make you feel this
What can I do to get you there

Love me..

Friday, August 27, 2010

Freedom

BAB 1
commence un nouveau chapitre

“Kalau kamu di suruh main drama, kamu mau milih jadi siapa?”
Pertanyaan mudah tapi punya kesan hebat di sini (di hatiku). Dean yang bertanya, hanya itu yang bisa ku ingat dari semua kehidupanku, yang dapat di kategorikan menyenangkan dan hampir sempurna sebenarnya. Dean, orang yang selalu ada disisiku, bahkan sejak aku lahir di dunia ini. Seseorang yang tak kan aku lupa senyumnya. Matanya yang tenang, bibirnya yang tipis, bahkan dia punya wajah nyaris sempurna. Dia suka warna putih. Dia suka bersih. Dia benci menunggu. Dia baik, tak pernah marah dan aku suka hampir di semua gerak-geriknya.
Tapi, sekarang senyumnya hilang, matanya sudah menutup rapa-rapat, bibirnya sudah tak bisa mengeluarkan suara, wajahnya sudah tak nyata. Kehadirannya sudah tak bisa di rasakan lagi. Dean Putra Sanjaya. Aku selalu suka dengan namanya, karana hampir sama dengan namaku. Deasa Putri Sanjaya.
Aku rindu memanggilnya ”Ka Dean!” lalu berlari mengejarnya. Aku rindu main petak-umpat dengannya. Karena pada akhirnya, aku selalu kalah dan dia mulai menggelitik perutku sampai aku kebelet buang air kecil nantinya.
Setelah itu aku akan teriak ”Bundaaaaaa, ka Dean nih!”. Lalu aku berpura-pura marah.

Tapi ka Dean nggak tau kalo aku cuma pura-pura aja setiap aku marah. Dan pada akhirnya dia selalu minta maaf dan ngasih aku cokelat. Sampai-sampai cokelatnya menumpuk di toples kamarku yang warnanya putih ada gambar ka Dean nya. Ka Dean ngelarang aku makan cokelat tapi dia selalu ngasih aku cokelat. Jadi, biar dia nggak marah, ya aku turutin.
Aku selalu ingat kegiatan apa saja yang selalu kami lewati bersama. Aku juga ingat kegiatan terakhir yang memang tak kan pernah aku lupakan. Karena sejak hari itu, hari yang seharusnya paling aku nantikan di sepanjang tahun, aku kehilangan seseorang yang bahkan tak pernah meninggalkan aku selangkah pun. Aku bahkan tak mengerti kenapa ka Dean harus di larikan ke rumah sakit saat itu. Padahal dia cuma batuk dan keluar darah sedikit. Biasanya ka Dean akan bilang ”Nggak apa-apa kok, yuk kita main lagi!” dan aku tahu saat ka Dean berkata seperti itu artinya memang dia tak apa-apa. Aku percaya ka Dean pria yang kuat.
Tapi saat itu berbeda. Bunda bilang aku harus menunggu di luar ruangan bersamanya. Dan karena aku bosan menunggu, aku mulai mengeja bacaan yang ada di sekitarku. Termasuk ruangan tempat ka Dean berada. ”U-G-D..Itu artinya apa Bunda?” tapi bunda tidak menjawab apa-apa. Aku bertanya lagi ”Bunda, itu artinya apa?” aku tetap tidak bisa mendengar suaranya, Bunda sedang menunduk dan aku tidak bisa melihat wajahnya. Akhirnya aku berjongkok di lantai agar aku bisa melihat wajahnya. Dia menangis. Bunda menangis.
”Bunda, kenapa nangis? Bunda sakit ya? Bunda tadi abis jatuh ya? Dimana? Sini aku tiupin lukanya!”
Tapi tak ada jawaban. Bunda tetap menangis, dia hanya merubah posisinya dan memeluk ku. Akhirnya aku diam saja. Aku tahu mungkin saat itu Bunda hanya ingin di peluk lalu lukanya akan sembuh.

...
Aku membuka mata dan aku sadar aku berada di kamar ku. Kamar ku indah, semuanya serba berwarma putih. Mulai dari sprei, gorden, cat, lantai, lemari dan semua pernak-perniknya. Ini ka Dean yang mendekorasi. ”Supaya tetep ceria di setiap saat kamu bangun tidur dan mau tidur, rapi dan bersih, bagus kan?” aku langsung mengangguk setuju. Itu pernyataan yang bisa aku ingat sampai saat ini beserta senyumannya. Dan ka Dean benar, aku selalu tersenyum ketika aku bangun tidur dan ingin tertidur, tapi bukan karena warnanya. Karena aku tau ka Dean yang mendekornya.
Aku mencari ka Dean di kamarnya yang tepat berada di samping kamarku. Tapi ka Dean tidak ada. Di kamar mandi pun tidak ada. Biasanya ka Dean sudah membangunkan aku di pagi-pagi seperti ini. ”Bunda, ka Dean dimana?” Aku berjalan mendekati Bunda. Mata Bunda terlihat redup, mukanya pucat, tapi dia tetap berusaha untuk tersenyum kepadaku.
”Halo sayang! Sudah bangun? Mau ikut Bunda ke rumah sakit?” Bunda bertanya manis sekali. Aku lupa ka Dean masih berada di sana. Ini sudah hari kesebelas ka Dean di rumah sakit.
”Kita ngapain ke rumah sakit lagi Bunda?”
”Ka Dean kan masih di sana, lagi ada ka Cica juga di sana” ka Cica, aku selalu kesal kalau mendengar nama itu. Karena setiap ka Cica ada sama ka Dean, aku selalu saja di cuekin. Terkadang ka Dean pergi tanpa bilang-bilang . Pokoknya waktu itu aku sebel sama ka Cica.
”Ngapain ka Cica ada juga?” tanyaku ketus.
”Ya kan jengukin, ka Dean kan sakit, sayang”
”Ah aku nggak mau ah, ka Cica suruh pulang dulu”
”Kok gitu, ka Dean nungguin kamu lho sayang!”
...
Aku nggak mau mengecewakan ka Dean, akhirnya aku ikut juga ke rumah sakit. Untungnya ka Cica sudah pulang. Jadi, aku senang. Muka ka Dean pucat sekali. Bahkan ka Dean terlihat lemas dan lunglai. Matanya juga tak bersinar seperti biasanya. Tapi, senyumnya tetap seindah dan semenyenangkan bisanya. Aku datang dan mencium pipi kanan ka Dean, dingin. Biasanya dia yang akan melakukan hal itu, tapi aku tau dia lagi sakit. Jadi, aku memaklumi saja. Usia kami berbeda 12 tahun. Ka Dean, 18 tahun, waktu itu. Aku masih berumur 6 tahun. Tapi, aku masih bisa mangingat semuanya. Secara detail, kata Bunda daya ingat ku memang hebat sejak kecil.
Ka Dean, memanggilku, setelah dia ngobrol lama sama Bunda. Tapi suaranya sudah mulai hilang. Ka Dean sulit berbicara. Tadinya aku nggak mau paksa, tapi aku juga ingin mendengar suaranya. Sebenarnya, waktu Bunda bilang aku main dulu di sana. Aku dengar apa yang mereka omongin. Tapi nggak banyak.
“Dean, kamu harus kuat, kamu nggak boleh ninggalin Bunda” Bunda berbicara sambil terisak.
“Aku tahu, Bunda pasti bisa. Bunda, harus jaga Deasa baik-baik. Kaya Bunda jaga aku. Walaupun Deasa…..” Lalu aku tak mendengar lagi karena cleaning service yang lewat dengan dorongannya, berisik sekali. Sampai tiba-tiba ka Dean memanggil ku.
”Kamu harus jagain Bunda ya! Jangan jadi anak nakal, jangan suka makan cokelat!”
Ka Dean manis sekali senyumnya. Masih selalu terekam di benak ku senyum terindahnya. Aku tahu ka Dean nggak akan kemana-mana. Karena ka Dean pernah bilang ”Aku kan bisa liat kamu kalo lagi dimana aja lhooo!”. Aku tahu, ka Dean nggak akan takut aku jadi anak nakal. Karena ka Dean pernah bilang ”Kamu kan anak baik, jadi ka Dean sayang”. Aku tahu, ka Dean nggak bakal khawatir kalo aku makan cokelat, karena aku selalu menyimpan cokelatnya di toples kesayangan ku di kamar. Dan ka Dean tahu semua itu. Jadi, aku nggak perlu khawatir. Iya kan?
Bunda terus saja menangis, sambil merangkul aku. Tangan nya gemetaran, genggamannya di tangan ka Dean kuat sekali. Ka Dean mulai batuk-batuk lagi. ”Sesak lagi, Bun” Ka Dean berkata sambil memegang dadanya dengan tangan satunya lagi. wajah ka Dean kasihan, kesakitan. Tapi, aku tak tahu harus berbuat apa. Bunda melepaskan rangkulan tangannya di pundakku. Tapi tidak melepas genggaman tangannya di tangan ka Dean. Tangan Bunda terus memencet tombol panggil darurat yang ada di sebelah ka Dean. Tak lama setelah itu, ada dua orang suster dan satu orang dokter yang menangani. Suster itu cantik, dia meminta kami menunggu di luar. Aku kesal sama suster itu. Dia pasti pengen deket-deket ka Dean deh, makanya nyuruh aku sama Bunda keluar dari ruangan.
Bunda menangis lagi, wajahnya sendu sekali. Seperti wajah ku apabila ka Dean ingin pergi sama ka Cica. Aku takut ka Dean nggak balik lagi. Dan wajah Bunda terlihat seperti itu. Aku memeluk Bunda, mungkin aku bisa membuatnya berhenti menangis seperti waktu itu. Tapi ternyata tidak, Bunda memang tersenyum kepadaku, lembut sekali tatapannya. Tapi, Bunda tetap menangis. Dan terus menangis. Aku melihat tangan Bunda gemetar lagi. Kami menunggu selama kurang lebih satu jam. Aku tak tahu, karena aku tertidur di kursi tunggu rumah sakit. Dan ketika aku bangun, aku melihat Bunda sedang berjalan menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan ka Dean. Raut wajah dokter itu menyedihkan, seperti yang sering aku lihat di TV. Tapi aku yakin, ini berbeda, karena kalo di TV pasiennya akan meninggal. Dan nggak mungkin ka Dean meninggal kan?
”Pasti dia lagi sama suster cantik itu deh!” ini lah yang ada di benakku saat itu.
Dokter itu menggeleng dan seperti meminta maaf kepada Bunda. Bunda langsung bergegas ke dalam ruangan sambil berlari kecil. Aku tak tahu harus berbuat apa. Dokter itu menghampiri ku, dan sedikit menunduk, karena dia terlalu tinggi.
“Kamu harus kuat ya adik kecil, nggak boleh sedih” lalu dia pergi setelah menepuk pundak ku dan mengacak-acak rambut ku. Aku hanya diam dan tidak mengubris perkataan dokter itu. Kata ka Dean kita nggak boleh ngeladenin orang yang nggak di kenal, aku kan nggak kenal sama dokter itu.
Aku melihat suster mendorong tempat tidur ka Dean keluar dari ruangan. Muka ka Dean di tutup dengan kain putih. Aku ingin langsung bilang kalau nanti ka Dean akan sulit bernapas. Tapi mereka berjalan terlalu cepat. Aku jadi tidak bisa mengejar. Mereka menyebalkan sekali pikirku. Mereka sudah ada dalam ruangan dengan ka Dean dan sekarang ingin membawanya pergi. Aku cepat-cepat mencari Bunda dan ingin mengadu. Tapi Bunda sepertinya tidak keberatan ka Dean di bawa pergi oleh suster itu. Dan itulah saat terakhir aku melihatnya.
Dean Putra Sanjaya
My Lovely Brother
You will be never changed in my heart
Cause I know, you’ll do like what I do, right?
... 
Sekarang yang aku tahu, aku harus mencoba berdiri sendiri. Aku tidak boleh goyah, aku tahu ka Dean pasti sedang memperhatikan aku di sana. Di surga. Aku yakin sekali. Dia tidak mau pergi meninggalkan aku. Bahkan di setiap langkah ku. Ka Dean bilang aku harus jagain Bunda. Aku tahu itu pasti adalah misi yang sengaja di buat olehnya. Supaya Bunda nggak kenapa-napa. Tapi, aku juga tahu kalo semua manusia tidak ada yang sempurna. Dan aku tahu bagaimana cara agar ka Dean selalu percaya sama aku sampai kapan pun. Aku tidak akan pernah menjadi diri ku sendiri sampai aku benar-benar siap untuk membuat ka Dean kecewa nantinya kepada diri ku sebagai diri ku sendiri. Dan benar di tahun ini, seperti keinginan ku di akhir tahun, aku akan menjadi diriku. Di umurku yang ke 18 tahun ini, aku akan menjadi diri ku sendiri, bermain peran sebagai Deasa Putri Sanjaya. Gadis kecil berumur 6 tahun yang kehilangan kakak tersayangnya yang kini sudah menjadi gadis berumur 18tahun.
”Tahun ini adalah tepat 12 tahun aku kehilangan ka Dean, hari yang seharusnya menjadi hari yang indah, karena hari ini hari ulang tahunku” aku berbicara dalam hati dan tersenyum. Karena aku tahu di antara keramaian, ada kehadiran ka Dean di sana.
Dan disinilah aku, di perjalanan menuju kota pelajar setelah liburan panjang tahun baru. Semilir angin yang masuk melalui sela-sela jendela kereta menerpa wajahku. Aku rindu sekali seseorang yang aku tahu tidak akan pernah bisa di harapkan kehadirannya. Tapi aku tahu, seseorang itu pasti sedang senang sekali karena sekarang aku berada di tempat yang selalu di inginkannya. Yogyakarta.
”Ka Dean, aku kangen kamu!” aku berbisik. Dan mulai memejamkan mata sambil mendengar alunan lagu  yang selalu ka Dean nyanyikan untuk ku sebelum aku tidur.
Big Big Girl- Emilia
I’m big big girl
In a big big world
It’s not a big big thing if you leave me

But I do do feel that
I do do will miss you much
Miss you much
…… 
sériés...