Wednesday, September 15, 2010

Freedom

(Lanjutan Bab 2)
..................................................................
“Mba Asa..Mba..Mba..” terdengar panggilan yang di sertai ketukan pintu berulang-ulang di telingaku. Ya beginilah jadi anak kos, masih belum bebas, masih ada ini itu, orang-orang banyak. Walaupun tadinya aku pikir it will be good, ternyata mendingan tinggal di rumah deh. Seriously! Lebih nyaman, makanan terjamin, tidur nyenyak, ada yang bantuin beres-beres. “Oh my God, I miss my home, especially my bedroom!” batinku.
“Mba..Mba..” dan ketukan pintu kembali terdengar. Rasanya malas sekali untuk bangun dari tempat tidur dan membuka pintu. Jam kamarku menunjukan pukul 10. Setelah melihatnya aku langsung melengos malas sekali. Untung hari ini jadwal kuliah ku sedang kosong. Karena merasa tidak enak dengan si pengetuk pintu, akhirnya aku bergegas menuju pintu kamar dan membukakannya.
“Iya, ada apa?” kataku sambil membuka pintu. Ternyata Mba Atun yang dari tadi mengetuk pintu. Dan yang pertama terlihat bukan mukanya, yang terlihat malah sebuket bunga mawar merah yang masih segar dan wangi.
“Nih mba Sa..” sambil menyodorkan bunga mawar merah tersebut dan tersenyum mesem-mesem. Mba Sa, Mba Atun selalu memanggilku begitu. Biar nggak ribet, gitu alesannya. Mba Atun adalah pembantu di kosan yang aku tempati, orangnya baik sekali. Dia selalu tersenyum dan terlihat ikhlas apabila membantu seseorang. Namun, sayang sekali dia harus menjadi pembantu di usianya yang masih muda. Dia hanya berbeda satu tahun di atasku. Alasannya bekerja menjadi pembantu adalah karena tidak ada biaya untuk kuliah, jadi apa boleh buat. Mau di paksain bagaimanapun juga tidak akan kesampean. Kedua orang tuanya sudah tidak ada. Rasanya miris sekali kalo mendengar cerita Mba Atun. Tapi, belum ada yang bisa aku lakukan untuk membantunya. Selain, berterimakasih dan selalu menghargai apa yang di lakukannya.
“Ha apaan nih, mba?” tanyaku sembari menerima buket bunga mawar tersebut.
“Bunga atuh mba Sa” jawabnya dengan seadanya.
“Yee itu juga aku tau mba. Dari siapa gitu? Rajin bener” aku bertanya sambil terus mengingat-ingat siapa orang baik yang mau memberikan bunga ini. Apa mungkin penggemar rahasia? Dan jaman sekarang ada gituan gitu. Impossible, man!
“Dari tukang bunga, mba Sa. Tadi jam sembilanan di anterin” jelasnya.
“Oh gitu, yaudah makasih ya mba Atun” aku tersenyum dan menutup pintu, masuk ke dalam kamar. “Ah palingan juga, si Eyas nih kerjaannya. Tapi ngapain ya dia repot-repot? Kenapa dia nggak langsung kasih aja?” batinku. Dan yang ku lakukan selanjutnya adalah memencet nomor telepon Ega di ponselku. No name. Benar-benar bikin penasaran memang. Satu hal yang pasti adalah tidak mungkin pengirimnya itu cewek kan. Lagipula hanya satu kemungkinan pria yang mengirimi aku bunga mawar ini. Ya Ega.
“Halo..kenapa Sa?” Tanya Ega di telepon.
“Hmm..thank you for the red surprise nya ya, Yas!” kataku sambil tersenyum sumringah.
“The red surprise? Dan can you tell me what is that?” suara Ega terdengar ragu.
“Eh, lupain deh. Mau tidur lagi nih ngantuk. Bye..” klik. Telepon sengaja ku putuskan karena aku tahu, dugaan  kali ini meleset. Bukan Ega yang mengirim mawar merah ini. Jadi siapa? Aku masih terus memutar otak ku untuk  menemukan dugaan lain. Namun sia-sia. Ya dan sekarang yang aku lakukan adalah meneruskan waktu tidurku.
Dan hari ini tepat dua bulan aku lalui, hari-hari ku terlihat baik-baik saja. Tidak ada masalah dengan semua kegiatan rutin yang ku lakukan. Kuliah, makan, pergi dan hal semacamnya dan tentu saja masih bersama Ega. Namun, hal yang berbeda dalam dua bulan ini adalah sebuket bunga mawar yang terus-terusan datang ke kamar kos an ku, dia antar oleh mba Atun. Penasaran? Banget. Aku bahkan sudah menunggu si pengirim bunga apabila datang. Tapi sayangnya, setiap aku berada di depan kos an, menunggu si pengirim, bunga mawar merah itu pasti tak kunjung datang. Dan yang mengherankan, ketika aku masuk ke dalam kamar sebentar saja, tiba-tiba mba Atun datang mengetuk pintu dan kembali membawa bunga mawar merah tersebut. Ya dan begitulah kehidupan dua bulanku.
Ega tahu tentang bunga mawar merah yang selalu datang ke kosan ku. Dan sepertinya itu bukan masalah untuknya. “Aku ataupun kamu nggak perlu khawatir, karena cuma orang bodoh dan pengecut yang diam-diam mengirim bunga mawar tanpa ada nama pengirimnya”. Well ya, aku setuju untuk pernyataannya. “Jangan memikirkan kan hal sepele seperti ini, lagi pula too many things that you must thinking beside that”. Dan aku setuju.
Dan kembali ke hari minggu, hari yang selalu aku habiskan di panti jompo bertemu dengan Ibu Pratiwi dan Pak Sunarya. Dan yang berbeda di hari minggu ku kali ini adalah aku tidak berkunjung sendiri tapi berdua. Dengan Ega. Ini adalah pertama kalinya aku mau mengajaknya ke panti, sebelumnya Ega selalu memaksa ikut tapi tak pernah aku ijinkan. Tidak banyak yang di bicarakan Ega sepanjang perjalanan kami menuju panti. Dia hanya bertanya apa yang akan kami lakukan ketika sampai di sana. Dan aku hanya menjawab “Just wait and do, Yas!” dan Ega mengangguk tenang. Manis sekali, aku menyadari ada yang berubah dari raut mukanya. Ega terlihat lebih dewasa hari ini dengan kaus putih dan jeans hitam di padu dengan kacamata yang selalu di gunakannya saat menyetir. Benar, ada yang berubah, tapi aku masih belum menemukan apa yang berubah, bukankah dia memang selalu pergi denganku dengan setelan seperti ini? Lalu apa yang berbeda, aku belum bisa menerkanya.
“Sudah sampai, Sa” katanya membuyarkan lamunanku. Dan aku tersadar, aku sedang menatapnya, ini membuat ku langsung salah tingkah di hadapannya.
“Oh oke, ayo turun, langsung aja” kataku dengan sigap membuka pintu.
“Eh hati-hati Sa, kita belum masuk parkiran pantinya, masih di depannya, coba lihat!” Ega menunjuk papan panti yang masih menunjukan bacaan 200 meter lagi. Dan aku melakukan hal bodoh lagi.
“Katanya tadi udah sampe? Gimana sih!” kataku geram. Menyembunyikan wajahku yang bersemu merah karena malu sekaligus salah tingkah. “Aduh kenapa sih lo, Sa!” bisik ku.
“Kenapa Sa?” tanya Ega yang ternyata mendengar bisikan ku.
“Hmm nothing, cepetan yu! Nggak enak udah di tungguin” kataku mengalihkan. Tak sampai lima menit, kami sudah tiba di pelataran parker panti. Rasanya rindu dan tentram sekali ketika sampai di ruang tamu panti ini. Walaupun baru minggu kemarin aku berkunjung ke sini.
“Eh kamu sudah sampai, nduk!” Ibu Pratiwi langsung datang menyambut kedatangan kami dengan senyum ramahnya. “Ini siapa, nduk? Nggak di kenalin nih!” lanjutnya dengan nada menggoda sembari melihat ke arah Ega.
“Saya Ega, Bu. Temannya Asa” Ega menyalami Ibu Pratiwi sambil membalas senyumnya yang ramah.
Oalah, baru pertama ya  ke sini?” tanya Ibu Pertiwi.
“Iya Bu. Baru di bolehin nih sama si Asa” jawab Ega dengan nada jail dan melihat ke arah ku.
“Ih nggak Bu, dia nya aja baru sempet ke sini Bu” timpalku sambil menyengol bahu Ega. Ups, dan entah kenapa jantungku berdetak hebat saat bersentuhan dengan  bahunya. Aku berdiri dekat sekali dengan Ega, wangi parfum maskulinnya tercium di hidungku. Wangi sekali. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Seharusnya aku sudah biasa menghirup parfum ini sejak dulu, kan?
Yo wes, sok ayuk masuk aja langsung” Ibu Pratiwi mempersilahkan kami masuk ke dalam.
“Ih boong dosa tau!” Ega berbisik meledek di telingaku. Suaranya menentramkan sekali dan menambah kecepatan detak jantungku. Dan yang aku lakukan adalah bergerak mendahuluinya dan menarik napas dalam-dalam.
“Selamat pagi Pak Sunarya!” sapaku ketika sampai di kamar tidur Pak Sunarya. Beliau terlihat semakin lemah saja, pikirku.
“Hai, Berlianku!” sautnya sambil berusaha bangun dari tempat tidurnya.
“Eh eh nggak usah bangun Pak! Tiduran aja lagi” cegahku sambil berlari kecil menghampirinya.
“Bapak tidak mau terlihat lemah untuk kedatangan kamu, Berlian!” balasnya. Beliau tetap berusaha bangkit, yang akhirnya aku bantu.
“Aku bisa ngerti kok, Pak!” kata ku menenangkan. Sebelumnya Ibu pratiwi memang sudah mengabari tentang keadaan Pak Sunarya sekarang. Mungkin karena suda factor usia pula, jadi apa mau di kata. “Bapak apa kabar?” tanyaku.
“Baik, kamu apa kabar Berlian? Kamu terlihat lebih bersinar” pujinya sambil mengacak-acak rambutku.
“Ehem..ehem..” terdengar suara batuk seseorang yang di buat-buat. Dan aku lupa kalo aku datang ke panti tidak sendiri.
“Eh iya Pak. Ini teman saya, Eyas namanya” kataku memperkenalkan.
“Ega” Ega memperkenalkan diri sambil menyalami tangan Pak Sunarya yang di sambut dengan hangat.
“Loh Ega apa Eyas?” tanya Pak Sunarya bingung.
“Eyas, nama yang saya bikin-bikin Pak” jawabku cengengesan.
“Aduh anak muda sekarang itu romantis ya” goda Pak Sunarya.
“Ha roman..” belum sempat menyelesaikan ucapanku Ega menyelak berbicara.
“Iya dong Pak, namanya juga anak muda” Ega tersenyum dengan manisnya. Lesung di pipi kanannya terlihat, menambah porsi manisnya. Sejak kapan Ega punya lesung di pipi? Dan sepertinya aku benar-benar tidak pernah memperhatikannya. Terdengar tawa dari kedua pria yang selalu bersedia membantuku. Ega dan Pak Sunarya. Aku memejamkan mataku dan berbisik dalam hati “Ka Dean jangan cemburu ya!” lalu tersenyum.
Waktu di jam tanganku sudah menunjuk kan pukul 5 sore. Artinya kami sudah berbincang-bincang selama kurang lebih 6 jam dengan Pak Sunarya. Rasanya ingin lebih lama lagi berada di panti. Menemani Pak Sunarya makan, tidur, ngobrol dan lain-lain. Tapi tak mungkin, Pak Sunarya harus istirahat demi kesehatannya dan kami pun harus segera pamit. Sebelum pergi meninggalkan Pak Sunarya, Beliau membisikan ku sesuatu. “Kalo bisa berdua kenapa harus sendiri, cah ayu!” begitu bisiknya. Aku hanya tersenyum dan segera mengejar langkah Ega di depanku.

No comments: