Wednesday, September 29, 2010

The Black Pearl

Ina benar, bukan hanya salah satu dari kami yang salah, tapi rasa ketakutan yang ada dalam diri kami masing-masinglah yang menyebabkan semuanya menjadi seperti ini, tak pernah terselesaikan, tak pernah ada keputusan dan tak pernah ada akhir. Hanya saja diriku memang belum bisa benar-benar siap dan mengatakan kemana arah tujuannya. Ketika ada seseorang yang berkata bahwa hidup seperti air yang mengalir, benarkah? Apakah kita juga harus terus mengikuti aliran tersebut di saat kita ingin sejenak ke tepi? Bukankah kita yang menentukan jalan dan Tuhan yang mempersiapkan?
Malam ini yang kulakukan adalah berteriak sambil mengungkapkan semua pertanyaan ini kepada Ina, ya tentu saja dia diam saja. Maaf untuk mengganggu mu , tapi siapa lagi yang bisa ku tanyai sekarang ini, tak ada. Kalau ada kesempatan lain untuk mengulangsemua yang telah aku lewati di hari itu, maka aku benar-benar tak ingin mengulangnya lagi karena artinya aku hanya akan menyakiti diri ku sendiri untuk yang kedua kalinya. Iya kan, Na?

Wednesday, September 15, 2010

Latest News

Hi, long time I'm not posting something in here. Only my project, right?
Well, memang tidak banyak yang akan saya katakan sekarang ini. Just read my others blog in here! tenang aja, aku tidak menduakan blog yang ini kok. "This blog still be the one, I promise!". Nah, yang satunya gw buat karena memang ada blog wajib di tempat gw kuliah. Ya whatever lah itu. Yang pasti gw bakal tetep rajin ngepost. You know how I do really love writing!!! Jadi, nggak mungkin gw off nulis kalo nggak bener-bener ada yang salah dalam diri gw. Well cukup sekian. Eh, baca blog gw yang satunya yaa! karena gw baru bikin cerita baru (sebenernya tugas buat ospek -_-).
I have uniquely relation with someone lho! (bukan pacar, bukan temen)
You know, gw ngedownload semua lagu MOCCA, I just like it so much!
Oke see you soon, readers!
Minal Aidin Walfaidzin juga yaa

...

Freedom

(Lanjutan Bab 2)
..................................................................
“Mba Asa..Mba..Mba..” terdengar panggilan yang di sertai ketukan pintu berulang-ulang di telingaku. Ya beginilah jadi anak kos, masih belum bebas, masih ada ini itu, orang-orang banyak. Walaupun tadinya aku pikir it will be good, ternyata mendingan tinggal di rumah deh. Seriously! Lebih nyaman, makanan terjamin, tidur nyenyak, ada yang bantuin beres-beres. “Oh my God, I miss my home, especially my bedroom!” batinku.
“Mba..Mba..” dan ketukan pintu kembali terdengar. Rasanya malas sekali untuk bangun dari tempat tidur dan membuka pintu. Jam kamarku menunjukan pukul 10. Setelah melihatnya aku langsung melengos malas sekali. Untung hari ini jadwal kuliah ku sedang kosong. Karena merasa tidak enak dengan si pengetuk pintu, akhirnya aku bergegas menuju pintu kamar dan membukakannya.
“Iya, ada apa?” kataku sambil membuka pintu. Ternyata Mba Atun yang dari tadi mengetuk pintu. Dan yang pertama terlihat bukan mukanya, yang terlihat malah sebuket bunga mawar merah yang masih segar dan wangi.
“Nih mba Sa..” sambil menyodorkan bunga mawar merah tersebut dan tersenyum mesem-mesem. Mba Sa, Mba Atun selalu memanggilku begitu. Biar nggak ribet, gitu alesannya. Mba Atun adalah pembantu di kosan yang aku tempati, orangnya baik sekali. Dia selalu tersenyum dan terlihat ikhlas apabila membantu seseorang. Namun, sayang sekali dia harus menjadi pembantu di usianya yang masih muda. Dia hanya berbeda satu tahun di atasku. Alasannya bekerja menjadi pembantu adalah karena tidak ada biaya untuk kuliah, jadi apa boleh buat. Mau di paksain bagaimanapun juga tidak akan kesampean. Kedua orang tuanya sudah tidak ada. Rasanya miris sekali kalo mendengar cerita Mba Atun. Tapi, belum ada yang bisa aku lakukan untuk membantunya. Selain, berterimakasih dan selalu menghargai apa yang di lakukannya.
“Ha apaan nih, mba?” tanyaku sembari menerima buket bunga mawar tersebut.
“Bunga atuh mba Sa” jawabnya dengan seadanya.
“Yee itu juga aku tau mba. Dari siapa gitu? Rajin bener” aku bertanya sambil terus mengingat-ingat siapa orang baik yang mau memberikan bunga ini. Apa mungkin penggemar rahasia? Dan jaman sekarang ada gituan gitu. Impossible, man!
“Dari tukang bunga, mba Sa. Tadi jam sembilanan di anterin” jelasnya.
“Oh gitu, yaudah makasih ya mba Atun” aku tersenyum dan menutup pintu, masuk ke dalam kamar. “Ah palingan juga, si Eyas nih kerjaannya. Tapi ngapain ya dia repot-repot? Kenapa dia nggak langsung kasih aja?” batinku. Dan yang ku lakukan selanjutnya adalah memencet nomor telepon Ega di ponselku. No name. Benar-benar bikin penasaran memang. Satu hal yang pasti adalah tidak mungkin pengirimnya itu cewek kan. Lagipula hanya satu kemungkinan pria yang mengirimi aku bunga mawar ini. Ya Ega.
“Halo..kenapa Sa?” Tanya Ega di telepon.
“Hmm..thank you for the red surprise nya ya, Yas!” kataku sambil tersenyum sumringah.
“The red surprise? Dan can you tell me what is that?” suara Ega terdengar ragu.
“Eh, lupain deh. Mau tidur lagi nih ngantuk. Bye..” klik. Telepon sengaja ku putuskan karena aku tahu, dugaan  kali ini meleset. Bukan Ega yang mengirim mawar merah ini. Jadi siapa? Aku masih terus memutar otak ku untuk  menemukan dugaan lain. Namun sia-sia. Ya dan sekarang yang aku lakukan adalah meneruskan waktu tidurku.
Dan hari ini tepat dua bulan aku lalui, hari-hari ku terlihat baik-baik saja. Tidak ada masalah dengan semua kegiatan rutin yang ku lakukan. Kuliah, makan, pergi dan hal semacamnya dan tentu saja masih bersama Ega. Namun, hal yang berbeda dalam dua bulan ini adalah sebuket bunga mawar yang terus-terusan datang ke kamar kos an ku, dia antar oleh mba Atun. Penasaran? Banget. Aku bahkan sudah menunggu si pengirim bunga apabila datang. Tapi sayangnya, setiap aku berada di depan kos an, menunggu si pengirim, bunga mawar merah itu pasti tak kunjung datang. Dan yang mengherankan, ketika aku masuk ke dalam kamar sebentar saja, tiba-tiba mba Atun datang mengetuk pintu dan kembali membawa bunga mawar merah tersebut. Ya dan begitulah kehidupan dua bulanku.
Ega tahu tentang bunga mawar merah yang selalu datang ke kosan ku. Dan sepertinya itu bukan masalah untuknya. “Aku ataupun kamu nggak perlu khawatir, karena cuma orang bodoh dan pengecut yang diam-diam mengirim bunga mawar tanpa ada nama pengirimnya”. Well ya, aku setuju untuk pernyataannya. “Jangan memikirkan kan hal sepele seperti ini, lagi pula too many things that you must thinking beside that”. Dan aku setuju.
Dan kembali ke hari minggu, hari yang selalu aku habiskan di panti jompo bertemu dengan Ibu Pratiwi dan Pak Sunarya. Dan yang berbeda di hari minggu ku kali ini adalah aku tidak berkunjung sendiri tapi berdua. Dengan Ega. Ini adalah pertama kalinya aku mau mengajaknya ke panti, sebelumnya Ega selalu memaksa ikut tapi tak pernah aku ijinkan. Tidak banyak yang di bicarakan Ega sepanjang perjalanan kami menuju panti. Dia hanya bertanya apa yang akan kami lakukan ketika sampai di sana. Dan aku hanya menjawab “Just wait and do, Yas!” dan Ega mengangguk tenang. Manis sekali, aku menyadari ada yang berubah dari raut mukanya. Ega terlihat lebih dewasa hari ini dengan kaus putih dan jeans hitam di padu dengan kacamata yang selalu di gunakannya saat menyetir. Benar, ada yang berubah, tapi aku masih belum menemukan apa yang berubah, bukankah dia memang selalu pergi denganku dengan setelan seperti ini? Lalu apa yang berbeda, aku belum bisa menerkanya.
“Sudah sampai, Sa” katanya membuyarkan lamunanku. Dan aku tersadar, aku sedang menatapnya, ini membuat ku langsung salah tingkah di hadapannya.
“Oh oke, ayo turun, langsung aja” kataku dengan sigap membuka pintu.
“Eh hati-hati Sa, kita belum masuk parkiran pantinya, masih di depannya, coba lihat!” Ega menunjuk papan panti yang masih menunjukan bacaan 200 meter lagi. Dan aku melakukan hal bodoh lagi.
“Katanya tadi udah sampe? Gimana sih!” kataku geram. Menyembunyikan wajahku yang bersemu merah karena malu sekaligus salah tingkah. “Aduh kenapa sih lo, Sa!” bisik ku.
“Kenapa Sa?” tanya Ega yang ternyata mendengar bisikan ku.
“Hmm nothing, cepetan yu! Nggak enak udah di tungguin” kataku mengalihkan. Tak sampai lima menit, kami sudah tiba di pelataran parker panti. Rasanya rindu dan tentram sekali ketika sampai di ruang tamu panti ini. Walaupun baru minggu kemarin aku berkunjung ke sini.
“Eh kamu sudah sampai, nduk!” Ibu Pratiwi langsung datang menyambut kedatangan kami dengan senyum ramahnya. “Ini siapa, nduk? Nggak di kenalin nih!” lanjutnya dengan nada menggoda sembari melihat ke arah Ega.
“Saya Ega, Bu. Temannya Asa” Ega menyalami Ibu Pratiwi sambil membalas senyumnya yang ramah.
Oalah, baru pertama ya  ke sini?” tanya Ibu Pertiwi.
“Iya Bu. Baru di bolehin nih sama si Asa” jawab Ega dengan nada jail dan melihat ke arah ku.
“Ih nggak Bu, dia nya aja baru sempet ke sini Bu” timpalku sambil menyengol bahu Ega. Ups, dan entah kenapa jantungku berdetak hebat saat bersentuhan dengan  bahunya. Aku berdiri dekat sekali dengan Ega, wangi parfum maskulinnya tercium di hidungku. Wangi sekali. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Seharusnya aku sudah biasa menghirup parfum ini sejak dulu, kan?
Yo wes, sok ayuk masuk aja langsung” Ibu Pratiwi mempersilahkan kami masuk ke dalam.
“Ih boong dosa tau!” Ega berbisik meledek di telingaku. Suaranya menentramkan sekali dan menambah kecepatan detak jantungku. Dan yang aku lakukan adalah bergerak mendahuluinya dan menarik napas dalam-dalam.
“Selamat pagi Pak Sunarya!” sapaku ketika sampai di kamar tidur Pak Sunarya. Beliau terlihat semakin lemah saja, pikirku.
“Hai, Berlianku!” sautnya sambil berusaha bangun dari tempat tidurnya.
“Eh eh nggak usah bangun Pak! Tiduran aja lagi” cegahku sambil berlari kecil menghampirinya.
“Bapak tidak mau terlihat lemah untuk kedatangan kamu, Berlian!” balasnya. Beliau tetap berusaha bangkit, yang akhirnya aku bantu.
“Aku bisa ngerti kok, Pak!” kata ku menenangkan. Sebelumnya Ibu pratiwi memang sudah mengabari tentang keadaan Pak Sunarya sekarang. Mungkin karena suda factor usia pula, jadi apa mau di kata. “Bapak apa kabar?” tanyaku.
“Baik, kamu apa kabar Berlian? Kamu terlihat lebih bersinar” pujinya sambil mengacak-acak rambutku.
“Ehem..ehem..” terdengar suara batuk seseorang yang di buat-buat. Dan aku lupa kalo aku datang ke panti tidak sendiri.
“Eh iya Pak. Ini teman saya, Eyas namanya” kataku memperkenalkan.
“Ega” Ega memperkenalkan diri sambil menyalami tangan Pak Sunarya yang di sambut dengan hangat.
“Loh Ega apa Eyas?” tanya Pak Sunarya bingung.
“Eyas, nama yang saya bikin-bikin Pak” jawabku cengengesan.
“Aduh anak muda sekarang itu romantis ya” goda Pak Sunarya.
“Ha roman..” belum sempat menyelesaikan ucapanku Ega menyelak berbicara.
“Iya dong Pak, namanya juga anak muda” Ega tersenyum dengan manisnya. Lesung di pipi kanannya terlihat, menambah porsi manisnya. Sejak kapan Ega punya lesung di pipi? Dan sepertinya aku benar-benar tidak pernah memperhatikannya. Terdengar tawa dari kedua pria yang selalu bersedia membantuku. Ega dan Pak Sunarya. Aku memejamkan mataku dan berbisik dalam hati “Ka Dean jangan cemburu ya!” lalu tersenyum.
Waktu di jam tanganku sudah menunjuk kan pukul 5 sore. Artinya kami sudah berbincang-bincang selama kurang lebih 6 jam dengan Pak Sunarya. Rasanya ingin lebih lama lagi berada di panti. Menemani Pak Sunarya makan, tidur, ngobrol dan lain-lain. Tapi tak mungkin, Pak Sunarya harus istirahat demi kesehatannya dan kami pun harus segera pamit. Sebelum pergi meninggalkan Pak Sunarya, Beliau membisikan ku sesuatu. “Kalo bisa berdua kenapa harus sendiri, cah ayu!” begitu bisiknya. Aku hanya tersenyum dan segera mengejar langkah Ega di depanku.

Saturday, September 11, 2010

Freedom

BAB 2
Quand tu aimes quelqu'un

“Sa, ada telpon dari orang rumah tuh tadi ke handphone lo. Kayaknya lagi urgent banget deh” jelas Wina. Hal ini membuat aku langsung bergegas mengambil ponselku dan menelepon kembali nomor rumah yang ada di panggilan masukku tadi.
“Halo, kenapa Bi?” tanyaku tergesa.
“Anu Non, Ibu sakit lagi Non!” jawab Bik Sumi.
“Sakit lagi? Terus sekarang keadaannya gimana, Bi? Udah ke dokter?”
“Udah Non. Kata pak dokter, anu Non, Ibu banyak pikiran akhir-akhir ini, kebanyakan kerja sama capek di kantor” penjelasan yang cukup membuat diriku tak heran kalau Bunda akan jatuh sakit lagi. Bunda tidak pernah kenal lelah untuk bekerja, walaupun menurut ku, kami sudah cukup tanpa Bunda harus terus bekerja di kantor. Setidaknya Bunda bisa mengontrol usaha percetakannya dari rumah, tanpa harus repot-repot ke kantornya. Dan inilah yang selalu membuatku kesal. Yah apa mau di kata, Bunda sekarang sudah jatuh sakit. “Pasti di percetakan sedang ada masalah” pikirku.
“Oh oke deh, Bi. Besok pagi aku telpon lagi, aku belum bisa pulang, mungkin bulan depan, aku sempatkan. Bilang ke Bunda, jangan lupa minum obat ya Bi, jangan ke kantor dulu, kalo bisa sampe aku pulang, Bunda mesti harus ada di rumah ya Bi, janji!” tegasku. Aku hanya tak mau Bunda terlihat lemah dan rentan. Itu akan selalu membuatku takut kehilangan lagi.
“Eh iya Non, janji deh Bibi janji suer!!!” jawab Bik Sumi dengan nada khasnya. Bik Sumi yang selalu setia menemani aku sewaktu aku di Jakarta semenjak ka Dean tak ada. Bik Sumi yang selalu mengajakku bercanda saat aku mulai mengingat ka Dean. Dan sekarang semenjak aku di Jogja, Bik Sumi punya tugas baru yaitu menjaga dan menemani Bunda di bawah pengontrolanku.
Aku menghela napas setelah menutup telpon, rasanya berat sekali. “Nyokap sakit lagi, Win!” aku mengabari Wina yang sedari tadi duduk di sampingku sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya. Wajahnya terlihat sangat khawatir dengan keadaan Bunda.
“Oh oke, wish your mom get well soon, honey!” Wina mencoba menyemangatiku dengan manisnya.
“Thank you, Win!” dan aku memilih untuk tidak mengambil pusing tentang berita tak mengenakkan ini. Rasanya aku melakukan kesalahan karena meninggalkan Bunda di Jakarta dengan kesibukannya. Sedangkan aku di Jogja, karena pilihan hati yang memang aku inginkan.
Bunda selalu memberikan aku kebebasan untuk menentukan apa yang akan menjadi pilihan hiduku. Bunda tidak pernah cemas dengan apa yang aku lakukan. Tidak seperti perhatian yang dia berikan kepada ka Dean. Sewaktu ka Dean masih hidup, yang aku tahu, Bunda selalu menanyakan apapun yang akan ka Dean lakukan secara detail. Bahkan aku sempat cemburu sekali, karena aku pikir Bunda pilih kasih. Ah mungkin hanya perasaanku saja. Mungkin waktu itu Bunda sudah tahu dari awal kalo ka Dean sakit, makanya Bunda memberikan perhatian yang ekstra. Tapi aku juga sangat ingin di perhatikan seperti itu. Seperti teman-temanku sewaktu SD, SMP bahkan SMA yang masih di tanya sedang ada dimana, mau kemana, pulang ke rumah jam berapa dan sebagainya. Aku mau. Mau sekali. Tapi Bunda bilang, dia selalu sayang padaku apapun yang terjadi. Jadi, aku percaya. Aku selalu menganggap Bunda melakukan itu karena Bunda sayang dan memberikan kepercayaan kepadaku. Bunda tahu aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Bunda tahu kalo nanti aku membutuhkannya, aku pasti datang menemuinya dengan sendirinya. Ya, dan aku selalu menganggapnya seperti itu.

Siang ini terlalu indah apabila hanya di lewatkan begitu saja. Hari minggu indah yang selalu aku nantikan. Karena pada hari ini, aku akan pergi ke tempat yang sudah beberapa bulan terakhir ini aku kunjungi. Tempat yang membuat diri ku terkenang dan teringat akan sesuatu. Sesuatu yang semua orang akan alami, bagaimana pun caranya. Cepat atau lambat. Semua orang akan mengalami proses ini. Proses menjadi tua. Ya panti jompo. Sebuah panti yang berisi kakek dan nenek yang sudah rentan, tidak kuat lagi seperti waktu mereka muda.
Satu hal yang selalu ku pertanyakan, mengapa mereka tidak berada di rumah mereka masing-masing menikmati hari tua mereka? Atau mungkin mereka memang tidak mempunyai rumah? Atau keluarganya mencampakannya seperti yang ada di film? Mungkin apabila kita berada di luar negeri, hal ini adalah hal yang lumrah. Sudah tua ya sudah saatnya panti jompo menunggu Anda. Tapi masalahnya ini adalah Indonesia. Haruskah ada prinsip itu? Bukankah mereka pasti membutuhkan keluarganya daripada orang lain yang mengurusinya? Ya dan banyak sekali pertanyaan yang terus menerus bertambah setiap aku memikirkan hal ini.
Setiap hari minggu aku selalu menyempatkan diri pergi ke panti ini. Dan ini adalah minggu pertamaku setelah liburan panjang. Aku merindukan mereka semua, terutama salah satu dari mereka. Seorang pria dengan wajah yang sangat tenang, senyum yang menyejukkan dan hati yang luar biasa indah. Tapi tak banyak yang bisa dilakukannya sekarang ini, dia hanya dapat berjalan dengan bantuan tongkatnya, itu pun harus di bantu seseorang. Bapak Sunarya namanya. Dia adalah orang pertama yang menyapaku dan berkata “Kamu cantik seperti berlian!” lalu tersenyum.
Ibu Pratiwi, orang yang mengajakku berkeliling panti di hari pertama aku berada di sana sekaligus pemilik panti. Aku bilang kepadanya, kalo aku entah mengapa ingin sekali dapat dengan rutin datang mengunjung panti. Beliau menawarkanku untuk menjadi salah satu sukarelawan di panti itu. Panti Sinar Mulya namanya. Namun aku menolaknya dengan alasan belum terlalu siap dan memtuskan untuk rutin mengujungi mereka saja di setiap waktu luang yang ku punya. Aku juga bilang ke Bunda agar Bunda menyisihkan uangnya untuk menjadi penyumbang tetap di panti. Dan kali ini alasan ku adalah karena aku belum mapan dan dapat menghasilkan uangku sendiri. Jadi ya mau tak mau lah! “Selamat pagi Ibu Pratiwi! Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu, aku rindu” sapaku sambil tertawa cengengesan.
“Ya Allah, Gusti. Kangen banget Ibu sama kamu, nduk!” sapanya dengan pelukan yang hangat dan menenangkan.
“Ini Bu, aku bawa gudeg beli di deket kos tadi, enak lho!” kataku sambil memberikan bungkusan gudeg kepadanya. “Pak Sunarya ada Bu?” tanyaku celingukan melihat sekitar.
Oalah, makasih ya cah ayu! Ada kok, coba masuk aja gih, ada di beranda sepertinya” jawabnya.
“Oke, aku permisi dulu ya Bu” aku langsung bergegas menuju beranda. Tak sabar bertemu dengan seseorang yang selalu menjadi sumber kritik dan saran akan hidup serta permasalahan yang sedang aku jalani. Tak ada alasan untuk tidak merindukannya, bukan?

Kamu seharusnya bisa menjadi kuat atas kemauan kamu, berlian! Bukan atas kemauan sekeliling kamu. Mengerti?
Ini lah kritik dan saran yang terngiang di pikiranku sepanjang perjalanan pulang. Setelah bercerita banyak tentang apa yang aku mau di ulang tahunku, tentang ketegaran seseorang yang selalu ada di sampingku, tentang Bunda yang sedang sakit dan semua yang ingin aku ceritakan. Rasanya lega sekali setelah bercerita panjang lebar tanpa harus takut ada yang tersinggung, tanpa takut ada yang membocorkannya, tanpa takut ada yang memarahiku. Karena yang aku dapatkan adalah banyak cerita baru darinya. Cerita kehidupan pak Sunarya yang jauh lebih pahit dari apa yang pernah aku alami, aku lihat, aku dengar ataupun aku tonton di film. Beliau selalu memanggilku berlian dengan alasan memang belum ada yang mengalahkan kecantikan berlian di dasar laut selama hidupnya.
Tak ada yang tahu seseorang yang sebelumnya mempunyai pekerjaan, rumah, harta dan segala sesuatu yang layak harus hancur lebur begitu saja karena keegoisannya. Pak Sunarya memang tidak di buang atau sengaja di asingkan oleh keluarganya. Melainkan, beliau sendiri yang menginginkan tinggal di panti dengan sendirinya. Beliau hanya ingin mendapat ketenangan tanpa harus memikirkan apa pun. Semua keluarganya sudah memintanya untuk kembali ke rumah, tapi tak ada yang bisa merubah keputusannya. Keinginan untuk menjauh dari kehidupan yang terlalu rumit dan tak berhujung, begitu katanya.
Bukan kah semua hidup pasti tidak ada ujungnya? Kecuali kita memberhentikan hidup kita detik dimana kita mau. Bukan kah hidup itu pilihan? Ini selalu menjadi panutan hidupku. Lagi pula aku sudah besar, pak Sunarya juga begitu, dia sudah menentukan pilihan hidupnya terhenti sampai di situ, dimana dia menghabiskan hari-harinya dengan merenung di beranda atau sekedar berkeliling dengan tongkat dan bantuan seseorang. Ya dan menurutku itu adalah pilihan hidupnya.
Banyak hal yang aku alami selama 18 tahun tentunya. Mulai dari aku lahir, aku suka warna putih, belajar mengikhlaskan, belajar memahami, belajar banyak hal, sampai sekarang aku bisa berpikir dan berusaha untuk mendapatkan apa yang aku inginkan dengan caraku sendiri, menurutku itu adalah pilihan. Pilihan hidupku. Dan tak ada yang bisa mengubahnya.
Terkadang ingin rasanya aku merasakan yang namanya sakit hati atau hanya sekedar menangis karena baru saja putus seperti teman-temanku yang lain. Tapi sayangnya tak bisa. Aku sudah memprogram pikiranku untuk melakukan hal yang berguna dan membuang yang tak berguna. Dan menurutku merasakan hal yang di rasakan anak remaja di masanya adalah hal yang tak berguna. Dan itu adalah pilihan.
Malamku kali ini aku habiskan untuk berpikir banyak hal yang menurutku sudah lama tak aku pikirkan semenjak aku menjadi orang lain. Atau malah tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Ya apa pun itu malam ini aku merasa bebanku berkurang karena merasa bukan hanya diriku saja yang akan menyelesaikan semua permasalahan ku kini atau pun nanti. Namun ada seseorang yang akan selalu bersedia membantuku dan memberikan aku semangat.
Malam semakin larut dan aku belum berada di kamar kos ku. Ya aku masih berada di alun-alun. Duduk di salah satu warung kopi yang selalu aku kunjungi saat berada di alun-alun. Membeli secangkir susu putih panas dan pisang bakarnya. Angin datang silih berganti, menusuk pori-pori kulitku, terasa sekali. Asap di cangkir susu menambah suasana malam yang indah untuk hari yang indah. Hari ini aku menikmati sekali hidupku, setelah ke panti dan sampai saat ini berada di pinggir jalan dengan kesendirian dan di temani dengan ribuan pikiran, pertanyaan dan pernyataan, aku merasa sepertinya sebentar lagi aku mulai mengenal diri ku sendiri. Cepat atau lambat.
Namun lamunanku buyar ketika ponselku berdering. Aku melihat panggilan dari Eyas di layar ponselku. “Ya halo, Yas! Any problem?”
“Ha ya ampun masih nanya ada masalah apa nggak? See your watch, Sa” perintahnya yang langsung aku turuti.
“Two o’clock, Yas” jawabku sekenanya.
“And now tell me, where are you? I’ll pick you! Ini udah pagi, kamu belum pulang. Ini Jogja Sa!” sautnya panjang lebar. Tak lama dari itu, cukup 15 menit menunggu dan terlihat Ega di dalam mobilnya. Mukanya terlihat khawattir. Aku menghela napas. “Ya dan inilah pilihan hidupnya seorang Ega, no one can chage it!” batinku sambil tersenyum kecil. Dilanjutkan masuk ke dalam mobil dan mendengar banyak nasihat yang keluar dari mulutnya. Mau tak mau, sepertinya hari ini akan aku nobatkan sebagai inspiratif day!
...

Monday, September 6, 2010

Freedom

(Lanjutan BAB 1) 
“Sa, wake up! Bentar lagi nyampe nih. Kenapa sih kita ga naik pesawat aja, jadi kan ga perlu pegel cape lama pula..” Andina, cantik, tinggi, putih, berkacamata dan idaman semua pria.
 “Adeuh.. kalo gw tau bakal kaya gini rame nya, terus kita dapet kelas ekonomi gini. Gw juga nggak mau kali, Ndin!” Nah kalo yang ini Wina. Kalo anak gaul sekarang bilang sih BBB (Behel, BlackBerry, Belah tengah). Walaupun sebenernya aku juga nggak terlalu ngerti maksudnya, tapi kalo di lihat-lihat. Ya memang begitulah dia.
 Sialnya memang begitulah keadaan kami, lelah, kucel. Karena udah abis masa libur panjang, artinya semua orang pulang ke asalnya masing-masing. Alhasil, beginilah kami, dengan tiket yang di jual di calo dan dengan harga yang selangit pula. Tapi apa mau di kata, liburan telah usai, walaupun rasanya masih ingin berlama-lama di Jakarta.
 “Dasar cewe!” Celetukan seseorang yang bahkan tak ada satupun dari kami yang kenal. Dan serentak kami menengok. Pria dengan postur tubuh tinggi, bersih, dan ikal. Hanya itu yang dapat kulihat, karena penuhnya orang yang ada di dalam kereta.
 “Udah nggak usah di ladenin!” Suara serak-serak basah yang berwibawa terdengar karena melihat wajah Wina dan Andina yang terganggu dengan celetukan tersebut. Ega, cuma ada beberapa kata yang bisa menggambarkan bagaimana Ega. Supel, ga mecem-macem, asik, idaman semua wanita. That’s it! Dan semua orang tahu akan hal itu, termasuk aku.
“Males gila ih! Kapan nyampe sih, katanya bentar lagi” Andina mengeluh lagi dan sepertinya sudah keluhan untuk kesekian kalinya.
“Sa, tas kamu udah di prepare? Yang mana sini aku ambilin” Ega bertanya dengan muka tulusnya.
"Ya dia selalu tulus, selalu saja. Aku tak tahu menganpa dia selalu memberikan perhatian lebih kepadaku. Ega Agatha Sofyan. Teman sejak SD, SMP, SMA dan ternyata kami satu fakultas pula. Aku juga tak mengerti, mengapa Tuhan mempertemukan kami berdua bahkan sampai detik ini. Ega, entah mengapa aku lebih suka memanggilnya Eyas. Singkatan dari namanya, yang sebenarnya rada aneh menurut teman-teman ku yang lain, tapi aku suka. Dan dia tidak pernah menolak. Aku ingin sekali saja mendengar satu kalimat penolakan dari mulutnya. Tapi, bahkan Eyas tak pernah berkata “Maaf aku nggak bisa” atau “Aku nggak suka”. Dia benar-benar tidak pernah mengucapkannya.
Dan yang aku lakukan untuk menjawab pertanyaannya adalah hanya menunjuk dimana letak tasku dan kembali melihat pemandangan di luar jendela. Itu yang selalu aku lakukan kepadanya. Bukan karena aku hanya memanfaatkannya. Tapi, karena aku benar-benar tidak suka dengan caranya memperhatikan ku. Membosankan. Bahkan dia tidak pernah membiarkan aku bergerak dengan caraku sendiri. Bertahan di setiap masalah yang aku hadapi. Eyas selalu ada di sampingku, bahkan ketika aku benar-benar tidak membutuhkannya. Dia selalu begitu. Dan akan selalu begitu.
Embun pagi terasa menyejukkan sekali di tubuhku. Udara dingin seperti menusuk-nusuk tulang rusuk ku. Aroma lembab embun yang bersatu dengan aroma tanah yang selalu aku nantikan ketika sampai di sini. Yogyakarta. Rasanya ingin cepat-cepat pergi mengelilingi Jogja lagi. Berlari pukul 5 dini hari. Itu yang selalu aku lakukan, kegiatan rutin ketika aku sampai di Jogja. Dan Eyas selalu ada menemaniku walaupun aku tak pernah meminta. Rasanya jenuh sekali melihat, mendengar, berbicara dengan orang yang sama setiap saat.
“Kenapa Eyas tidak langsung pulang saja ke tempat kosannya seperti yang di lakukan Andin dan Wina? Kenapa dia mau selalu repot-repot menemaniku?” Bisik ku dalam hati. Aku mau bertanya, selalu ingin bertanya. Tapi, Eyas selalu berubah sikap ketika aku yang memulai pembicaraan. Eyas selalu berubah dingin, ketika aku memulai topik baru yang bukan berasal darinya. Eyas selalu terlihat gugup, ketika sebenarnya aku hanya ingin bertanya “Kamu kenapa terlalu baik sama aku?” atau sekedar basa-basi lainnya. Tapi aku tahu yang akan aku lakukan sekarang ini adalah bertanya tanpa harus repot-repot membuatnya berubah untuk beberapa waktu saja.
“Yas..” panggilku pelan.
“Hmm ya?” jawabnya singkat.
“Kamu mau tau nggak permintaan di 18 tahunku?”
“Kenapa aku harus tau? Do you wanna tell me?” aku mengangguk pelan.
“Aku cuma pengen jadi diriku sendiri mulai dari sekarang dan selamanya”
“Maksudnya? Kamu nggak jadi diri kamu sebenernya sebelumnya?” aku mengangguk.
“Oh come on! Will you explain it?” sambungnya.
“Kita udah kenal berapa lama?” tanyaku.
“Hmm lama banget. I guess almost 12 year, right?”
“Kamu ngerasa ada yang beda nggak sama aku sekarang?” Eyas mengganguk ragu.
“Dan itu yang mau aku tanyain ke kamu, apa yang beda?”
“Ini adalah obrolan terpanjang yang pernah kita lakuin..” jawaban yang membuatku tersentak keluar dari mulutnya.
“Dan..” pancingku.
“Dan I just don’t care with all of things that making you be someone else. Aku tau kamu pasti punya alasan tersendiri, am I right?” senyum tulus itu terlihat lagi di wajahnya. Dan yang aku lakukan hanyalah menunduk dalam-dalam.
“Sorry for everything” dan hanya itu yang dapat aku katakan. Entah mengapa dadaku terasa sesak. Rasanya ingin sekali menangis.
“Hei, look at me! Kamu kenapa Sa? Are you okay?” Dan ini adalah pertama kalinya aku melihat Eyas bahkan tidak terlihat gugup sedikitpun atau terlihat dingin setidaknya. Ya dan ini juga adalah pertama kalinya aku ingin sekali bersandar di pundaknya dan menangis sejadi-jadinya. Aku ingat apa yang aku lakukan ketika Bunda menangis waktu itu, aku tahu Bunda hanya butuh pelukan. Mungkin aku juga. Aku menangis di pundaknya, entah seberapa lama, yang aku tahu, Eyas membiarkan itu semua terjadi begitu saja. Di tengah tanah lapang alun-alun kota Jogja pukul 6 pagi aku menangis sejadi-jadinya tanpa ada yang harus aku pikirkan. Dan itu adalah pertama kalinya aku merasa ka Dean sedang tersenyum senang sekali.
Seperti biasa Eyas selalu berada di beranda kosanku tepat satu jam sebelum kelas ku di mulai. Aku tidak pernah meminta. Aku tidak pernah mengharapkan. Tapi Eyas seperti malaikat yang di kirimkan Tuhan untuk menjagaku. Eyas adalah satu-satunya orang yang menjagaku ketika ka Dean pergi meninggalkan aku dan orang yang di cintainya untuk selamanya. Eyas berlagak seperti dia mengerti duka ku, mengerti apa yang aku rasakan saat itu, mengerti bagaimana rasanya kehilangan dan belajar mengikhlaskan. Dia selalu belagak seperti itu.
Faktanya aku tidak pernah benar-benar mengabaikannya. Aku mengagumi sosoknya bahkan sampai detik ini. Mungkin bukan hanya diriku saja. Tapi semua orang yang mengenalnya. “Terlalu munafik untuk tidak merasa nyaman berada di dekat Ega”. Itu yang aku dengar dari sekumpulan wanita yang ada di kamar mandi ketika aku SMA. Dan aku menyadari itu sejak awal. Hanya saja aku takut merusak peran yang sedang aku mainkan sewaktu itu. Peran sebagai si Nona Cuek. Itu adalah peran ku sewaktu SMA. Aku bahkan tidak pernah mempedulikan siapa pun dan apa pun di sekitar ku. Kecuali aku dan diriku. Bukan berarti aku cewek super kurang pergaulan atau cewek yang di kucilkan oleh teman-temanku. Aku tetap punya teman, banyak malah. Aku juga punya pacar, walaupun akhirnya putus karena pada akhirnya mereka yang pernah menjadi pacarku cemburu dengan keberadaan Eyas. Ya ya ya dia lagi dia lagi.
“Udah siap Sa?” tanya Eyas di telpon.
“Sebentar ya”
“Oke I’m with you” jawaban singkat dan jelas.
Aku hanya menggunakan kaos oblong di lapisi dengan kemeja merah kotak-kotak yang kebesaran, celana jeans butut dan sepatu kets yang tentunya sudah butut. Rasanya malas sekali untuk memulai pelajaran di kampus. Aku berjalan dengan langkah gontai menghampiri Eyas yang langsung membukakan pintu mobil Honda Jazz birunya.
“Kamu beda deh Sa!” sapaan pertama yang keluar dari mulutnya.
“Beda gimana?” aku memulai untuk memperbanyak obrolanku dengannya. Karena biasanya aku hanya menjawab “Oh”.
Eyas tersenyum tulus lagi. “Lebih supel aja”
“Just do what I wanna do, Yas”
“Jadi kalo yang kemaren-maren bukan kamu yang mau?” tanyanya heran.
“Only me and my self that knew about it!” jawabku sambil tersenyum.
“Lo ngerasa nggak sih ada yang berubah dari si Asa, Win?” tanya Andin asal.
“Berubah gimana? Aneh deh ah!” jawab Wina ala kadarnya karena dia sedang sibuk dengan BlackBerrynya.
“Iya dia jadi lebih banyak senyum, banyak ngomong juga dan yang paling aneh nya dia jadi sering banget ngobrol sama Ega!”
“Loh emangnya sebelumnya dia nggak ngomong gitu?” tanggap Wina cuek.
“Let me guess, I think she is falling in love with Ega, oh my God!!! News banget ini” ternyata pernyataan ini bisa ngebuat Wina berpaling dari kesibukannya tadi.
“Maksud lo? Mereka bakal jadian gitu? Hellooo my sweetie Andina Mellia, it’s so impossible, you know that, right?”
“Yee jaman sekarang gitu ada yang namanya nggak mungkin kah?”
“…”
“Win, lo dengerin gw nggak sih?”
“Eh bentar-bentar, lo liat cowo yang ada di situ deh tuh!” tunjuk Wina.
“He eh. Kenapa emang?”
“Kaya pernah liat gitu, dimana ya? Lo juga nggak sih?” tanya Wina penasaran.
“And I don’t really care, dear! Cabut yu ah!” ajak Andin, mengabaikan.
 
Malam ini adalah malam ketiga setelah hari ulang tahunku. Dan kini aku tak sendirian melewati malam dengan pemandangan langit Jogja yang terlihat mendung. Di sampingku ada seseorang yang bersedia menemaniku, namun kali ini lain. Aku yang memintanya untuk menemaniku dan seperti biasa pula, dia tidak akan pernah menolak. Aku memintanya untuk menemaniku di alun-alun seperti waktu itu. Aku merasa ada sesuatu yang datangnya bukan dari siapa-siapa melainkan diriku. Aku merasa sesuatu yang pernah hilang, datang lagi untuk pada akhirnya tetap ada dan tidak pergi walaupun seharusnya sesuatu itu pergi. Aku merasa ada kedamaian ketika aku memikirkan sesuatu tersebut. Hanya saja, aku belum yakin akan sesuatu tersebut. Itulah sebabnya aku masih belum ingin mentakan tentang sesuatu tersebut. Benarkah atau hanya keinginan dan harapanku saja akan sesuatu tersebut.
Di sampingku ada Ega, ya dia hanya menyempatkan waktunya untuk ku di tengah kesibukannya untuk mengurus hal lain yang mungkin memang lebih penting daripada hanya sekedar diriku.
“Yas..” panggilku.
“Ya?”
“Kenapa kamu selalu ada buat aku?” tanyaku pelan.
“Karena aku mau” jawabnya singkat.
“Aku nggak pernah minta”
“Aku juga nggak pernah mau di minta” balasnya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Karena aku nggak pernah mau liat kamu redup”
“Emang kamu siapa?” pertanyaan ini seharusnya tidak usah aku keluarkan. Oh bodohnya aku. Sekarang apa yang akan di jawabnya? Tanyaku dalam hati.
“…”
“Yas..”
“Aku Ega Agatha Sofyan” jawabnya polos.
“Aku tahu, Yas!” sautku singkat.
“Ya kamu tanyanya gitu”
“…”
“Yaudah deh di jawab nih, karena aku cuma mau kamu ada di samping aku, cuma itu aja”
“Kamu bahkan nggak pernah nanya aku, apakah aku nyaman atau nggak dengan adanya kamu, kan?”
“Aku cuma mau kamu”
“...” 
“Aku cuma mau kamu”
Kalimat inilah yang selalu berputar di otak ku untuk ke sekian kalinya. Aku hanya ingin mencoba mencerna, mengerti dan menerjemahkan apa maksud kalimat Ega malam itu. Pacaran kah? Tapi bahkan dia tidak pernah menunjukkan perasaannya seperti pria lain yang pernah mendekatiku. Atau dia menganggapku sebagai adik? Tapi dia selalu memperlakukan aku spesial dan berbeda bukan sebagai adik. Atau dia memang hanya ingin aku menjadi teman baiknya saja. Ya dan pemikiranku yang terakhir itulah yang masih akan aku jadikan patokan atas pernyataan Ega malam itu.
Setelah aku belajar menjadi diriku sendiri, entah mengapa, aku merasa ada yang lain dengan warna dan gradasi kehidupanku. Mungkin benar, menjadi dirimu sendiri memang lebih sempurna daripada ketika kau bermain peran dalam sebuah drama.
...

Sunday, September 5, 2010

I've got the new one!

The Corrs - What Can I Do lyrics

I haven't slept at all in days
It's been so long since we've talked
And I have been here many times
I just don't know what I'm doing wrong

What can I do to make you love me
What can I do to make you care
What can I say to make you feel this
What can I do to get you there

There's only so much I can take
And I just got to let it go
And who knows I might feel better
If I don't try and I don't hope

What can I do to make you love me
What can I do to make you care
What can I say to make you feel this
What can I do to get you there

No more waiting, No more aching
No more fighting, No more trying

Maybe there's nothing more to say
And in a funny way I'm calm
Because the power is not mine
I'm just gonna let it fly

What can I do to make you love me
What can I do to make you care
What can I say to make you feel this
What can I do to get you there

Love me..