Saturday, September 11, 2010

Freedom

BAB 2
Quand tu aimes quelqu'un

“Sa, ada telpon dari orang rumah tuh tadi ke handphone lo. Kayaknya lagi urgent banget deh” jelas Wina. Hal ini membuat aku langsung bergegas mengambil ponselku dan menelepon kembali nomor rumah yang ada di panggilan masukku tadi.
“Halo, kenapa Bi?” tanyaku tergesa.
“Anu Non, Ibu sakit lagi Non!” jawab Bik Sumi.
“Sakit lagi? Terus sekarang keadaannya gimana, Bi? Udah ke dokter?”
“Udah Non. Kata pak dokter, anu Non, Ibu banyak pikiran akhir-akhir ini, kebanyakan kerja sama capek di kantor” penjelasan yang cukup membuat diriku tak heran kalau Bunda akan jatuh sakit lagi. Bunda tidak pernah kenal lelah untuk bekerja, walaupun menurut ku, kami sudah cukup tanpa Bunda harus terus bekerja di kantor. Setidaknya Bunda bisa mengontrol usaha percetakannya dari rumah, tanpa harus repot-repot ke kantornya. Dan inilah yang selalu membuatku kesal. Yah apa mau di kata, Bunda sekarang sudah jatuh sakit. “Pasti di percetakan sedang ada masalah” pikirku.
“Oh oke deh, Bi. Besok pagi aku telpon lagi, aku belum bisa pulang, mungkin bulan depan, aku sempatkan. Bilang ke Bunda, jangan lupa minum obat ya Bi, jangan ke kantor dulu, kalo bisa sampe aku pulang, Bunda mesti harus ada di rumah ya Bi, janji!” tegasku. Aku hanya tak mau Bunda terlihat lemah dan rentan. Itu akan selalu membuatku takut kehilangan lagi.
“Eh iya Non, janji deh Bibi janji suer!!!” jawab Bik Sumi dengan nada khasnya. Bik Sumi yang selalu setia menemani aku sewaktu aku di Jakarta semenjak ka Dean tak ada. Bik Sumi yang selalu mengajakku bercanda saat aku mulai mengingat ka Dean. Dan sekarang semenjak aku di Jogja, Bik Sumi punya tugas baru yaitu menjaga dan menemani Bunda di bawah pengontrolanku.
Aku menghela napas setelah menutup telpon, rasanya berat sekali. “Nyokap sakit lagi, Win!” aku mengabari Wina yang sedari tadi duduk di sampingku sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya. Wajahnya terlihat sangat khawatir dengan keadaan Bunda.
“Oh oke, wish your mom get well soon, honey!” Wina mencoba menyemangatiku dengan manisnya.
“Thank you, Win!” dan aku memilih untuk tidak mengambil pusing tentang berita tak mengenakkan ini. Rasanya aku melakukan kesalahan karena meninggalkan Bunda di Jakarta dengan kesibukannya. Sedangkan aku di Jogja, karena pilihan hati yang memang aku inginkan.
Bunda selalu memberikan aku kebebasan untuk menentukan apa yang akan menjadi pilihan hiduku. Bunda tidak pernah cemas dengan apa yang aku lakukan. Tidak seperti perhatian yang dia berikan kepada ka Dean. Sewaktu ka Dean masih hidup, yang aku tahu, Bunda selalu menanyakan apapun yang akan ka Dean lakukan secara detail. Bahkan aku sempat cemburu sekali, karena aku pikir Bunda pilih kasih. Ah mungkin hanya perasaanku saja. Mungkin waktu itu Bunda sudah tahu dari awal kalo ka Dean sakit, makanya Bunda memberikan perhatian yang ekstra. Tapi aku juga sangat ingin di perhatikan seperti itu. Seperti teman-temanku sewaktu SD, SMP bahkan SMA yang masih di tanya sedang ada dimana, mau kemana, pulang ke rumah jam berapa dan sebagainya. Aku mau. Mau sekali. Tapi Bunda bilang, dia selalu sayang padaku apapun yang terjadi. Jadi, aku percaya. Aku selalu menganggap Bunda melakukan itu karena Bunda sayang dan memberikan kepercayaan kepadaku. Bunda tahu aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Bunda tahu kalo nanti aku membutuhkannya, aku pasti datang menemuinya dengan sendirinya. Ya, dan aku selalu menganggapnya seperti itu.

Siang ini terlalu indah apabila hanya di lewatkan begitu saja. Hari minggu indah yang selalu aku nantikan. Karena pada hari ini, aku akan pergi ke tempat yang sudah beberapa bulan terakhir ini aku kunjungi. Tempat yang membuat diri ku terkenang dan teringat akan sesuatu. Sesuatu yang semua orang akan alami, bagaimana pun caranya. Cepat atau lambat. Semua orang akan mengalami proses ini. Proses menjadi tua. Ya panti jompo. Sebuah panti yang berisi kakek dan nenek yang sudah rentan, tidak kuat lagi seperti waktu mereka muda.
Satu hal yang selalu ku pertanyakan, mengapa mereka tidak berada di rumah mereka masing-masing menikmati hari tua mereka? Atau mungkin mereka memang tidak mempunyai rumah? Atau keluarganya mencampakannya seperti yang ada di film? Mungkin apabila kita berada di luar negeri, hal ini adalah hal yang lumrah. Sudah tua ya sudah saatnya panti jompo menunggu Anda. Tapi masalahnya ini adalah Indonesia. Haruskah ada prinsip itu? Bukankah mereka pasti membutuhkan keluarganya daripada orang lain yang mengurusinya? Ya dan banyak sekali pertanyaan yang terus menerus bertambah setiap aku memikirkan hal ini.
Setiap hari minggu aku selalu menyempatkan diri pergi ke panti ini. Dan ini adalah minggu pertamaku setelah liburan panjang. Aku merindukan mereka semua, terutama salah satu dari mereka. Seorang pria dengan wajah yang sangat tenang, senyum yang menyejukkan dan hati yang luar biasa indah. Tapi tak banyak yang bisa dilakukannya sekarang ini, dia hanya dapat berjalan dengan bantuan tongkatnya, itu pun harus di bantu seseorang. Bapak Sunarya namanya. Dia adalah orang pertama yang menyapaku dan berkata “Kamu cantik seperti berlian!” lalu tersenyum.
Ibu Pratiwi, orang yang mengajakku berkeliling panti di hari pertama aku berada di sana sekaligus pemilik panti. Aku bilang kepadanya, kalo aku entah mengapa ingin sekali dapat dengan rutin datang mengunjung panti. Beliau menawarkanku untuk menjadi salah satu sukarelawan di panti itu. Panti Sinar Mulya namanya. Namun aku menolaknya dengan alasan belum terlalu siap dan memtuskan untuk rutin mengujungi mereka saja di setiap waktu luang yang ku punya. Aku juga bilang ke Bunda agar Bunda menyisihkan uangnya untuk menjadi penyumbang tetap di panti. Dan kali ini alasan ku adalah karena aku belum mapan dan dapat menghasilkan uangku sendiri. Jadi ya mau tak mau lah! “Selamat pagi Ibu Pratiwi! Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu, aku rindu” sapaku sambil tertawa cengengesan.
“Ya Allah, Gusti. Kangen banget Ibu sama kamu, nduk!” sapanya dengan pelukan yang hangat dan menenangkan.
“Ini Bu, aku bawa gudeg beli di deket kos tadi, enak lho!” kataku sambil memberikan bungkusan gudeg kepadanya. “Pak Sunarya ada Bu?” tanyaku celingukan melihat sekitar.
Oalah, makasih ya cah ayu! Ada kok, coba masuk aja gih, ada di beranda sepertinya” jawabnya.
“Oke, aku permisi dulu ya Bu” aku langsung bergegas menuju beranda. Tak sabar bertemu dengan seseorang yang selalu menjadi sumber kritik dan saran akan hidup serta permasalahan yang sedang aku jalani. Tak ada alasan untuk tidak merindukannya, bukan?

Kamu seharusnya bisa menjadi kuat atas kemauan kamu, berlian! Bukan atas kemauan sekeliling kamu. Mengerti?
Ini lah kritik dan saran yang terngiang di pikiranku sepanjang perjalanan pulang. Setelah bercerita banyak tentang apa yang aku mau di ulang tahunku, tentang ketegaran seseorang yang selalu ada di sampingku, tentang Bunda yang sedang sakit dan semua yang ingin aku ceritakan. Rasanya lega sekali setelah bercerita panjang lebar tanpa harus takut ada yang tersinggung, tanpa takut ada yang membocorkannya, tanpa takut ada yang memarahiku. Karena yang aku dapatkan adalah banyak cerita baru darinya. Cerita kehidupan pak Sunarya yang jauh lebih pahit dari apa yang pernah aku alami, aku lihat, aku dengar ataupun aku tonton di film. Beliau selalu memanggilku berlian dengan alasan memang belum ada yang mengalahkan kecantikan berlian di dasar laut selama hidupnya.
Tak ada yang tahu seseorang yang sebelumnya mempunyai pekerjaan, rumah, harta dan segala sesuatu yang layak harus hancur lebur begitu saja karena keegoisannya. Pak Sunarya memang tidak di buang atau sengaja di asingkan oleh keluarganya. Melainkan, beliau sendiri yang menginginkan tinggal di panti dengan sendirinya. Beliau hanya ingin mendapat ketenangan tanpa harus memikirkan apa pun. Semua keluarganya sudah memintanya untuk kembali ke rumah, tapi tak ada yang bisa merubah keputusannya. Keinginan untuk menjauh dari kehidupan yang terlalu rumit dan tak berhujung, begitu katanya.
Bukan kah semua hidup pasti tidak ada ujungnya? Kecuali kita memberhentikan hidup kita detik dimana kita mau. Bukan kah hidup itu pilihan? Ini selalu menjadi panutan hidupku. Lagi pula aku sudah besar, pak Sunarya juga begitu, dia sudah menentukan pilihan hidupnya terhenti sampai di situ, dimana dia menghabiskan hari-harinya dengan merenung di beranda atau sekedar berkeliling dengan tongkat dan bantuan seseorang. Ya dan menurutku itu adalah pilihan hidupnya.
Banyak hal yang aku alami selama 18 tahun tentunya. Mulai dari aku lahir, aku suka warna putih, belajar mengikhlaskan, belajar memahami, belajar banyak hal, sampai sekarang aku bisa berpikir dan berusaha untuk mendapatkan apa yang aku inginkan dengan caraku sendiri, menurutku itu adalah pilihan. Pilihan hidupku. Dan tak ada yang bisa mengubahnya.
Terkadang ingin rasanya aku merasakan yang namanya sakit hati atau hanya sekedar menangis karena baru saja putus seperti teman-temanku yang lain. Tapi sayangnya tak bisa. Aku sudah memprogram pikiranku untuk melakukan hal yang berguna dan membuang yang tak berguna. Dan menurutku merasakan hal yang di rasakan anak remaja di masanya adalah hal yang tak berguna. Dan itu adalah pilihan.
Malamku kali ini aku habiskan untuk berpikir banyak hal yang menurutku sudah lama tak aku pikirkan semenjak aku menjadi orang lain. Atau malah tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Ya apa pun itu malam ini aku merasa bebanku berkurang karena merasa bukan hanya diriku saja yang akan menyelesaikan semua permasalahan ku kini atau pun nanti. Namun ada seseorang yang akan selalu bersedia membantuku dan memberikan aku semangat.
Malam semakin larut dan aku belum berada di kamar kos ku. Ya aku masih berada di alun-alun. Duduk di salah satu warung kopi yang selalu aku kunjungi saat berada di alun-alun. Membeli secangkir susu putih panas dan pisang bakarnya. Angin datang silih berganti, menusuk pori-pori kulitku, terasa sekali. Asap di cangkir susu menambah suasana malam yang indah untuk hari yang indah. Hari ini aku menikmati sekali hidupku, setelah ke panti dan sampai saat ini berada di pinggir jalan dengan kesendirian dan di temani dengan ribuan pikiran, pertanyaan dan pernyataan, aku merasa sepertinya sebentar lagi aku mulai mengenal diri ku sendiri. Cepat atau lambat.
Namun lamunanku buyar ketika ponselku berdering. Aku melihat panggilan dari Eyas di layar ponselku. “Ya halo, Yas! Any problem?”
“Ha ya ampun masih nanya ada masalah apa nggak? See your watch, Sa” perintahnya yang langsung aku turuti.
“Two o’clock, Yas” jawabku sekenanya.
“And now tell me, where are you? I’ll pick you! Ini udah pagi, kamu belum pulang. Ini Jogja Sa!” sautnya panjang lebar. Tak lama dari itu, cukup 15 menit menunggu dan terlihat Ega di dalam mobilnya. Mukanya terlihat khawattir. Aku menghela napas. “Ya dan inilah pilihan hidupnya seorang Ega, no one can chage it!” batinku sambil tersenyum kecil. Dilanjutkan masuk ke dalam mobil dan mendengar banyak nasihat yang keluar dari mulutnya. Mau tak mau, sepertinya hari ini akan aku nobatkan sebagai inspiratif day!
...

No comments: