Monday, September 6, 2010

Freedom

(Lanjutan BAB 1) 
“Sa, wake up! Bentar lagi nyampe nih. Kenapa sih kita ga naik pesawat aja, jadi kan ga perlu pegel cape lama pula..” Andina, cantik, tinggi, putih, berkacamata dan idaman semua pria.
 “Adeuh.. kalo gw tau bakal kaya gini rame nya, terus kita dapet kelas ekonomi gini. Gw juga nggak mau kali, Ndin!” Nah kalo yang ini Wina. Kalo anak gaul sekarang bilang sih BBB (Behel, BlackBerry, Belah tengah). Walaupun sebenernya aku juga nggak terlalu ngerti maksudnya, tapi kalo di lihat-lihat. Ya memang begitulah dia.
 Sialnya memang begitulah keadaan kami, lelah, kucel. Karena udah abis masa libur panjang, artinya semua orang pulang ke asalnya masing-masing. Alhasil, beginilah kami, dengan tiket yang di jual di calo dan dengan harga yang selangit pula. Tapi apa mau di kata, liburan telah usai, walaupun rasanya masih ingin berlama-lama di Jakarta.
 “Dasar cewe!” Celetukan seseorang yang bahkan tak ada satupun dari kami yang kenal. Dan serentak kami menengok. Pria dengan postur tubuh tinggi, bersih, dan ikal. Hanya itu yang dapat kulihat, karena penuhnya orang yang ada di dalam kereta.
 “Udah nggak usah di ladenin!” Suara serak-serak basah yang berwibawa terdengar karena melihat wajah Wina dan Andina yang terganggu dengan celetukan tersebut. Ega, cuma ada beberapa kata yang bisa menggambarkan bagaimana Ega. Supel, ga mecem-macem, asik, idaman semua wanita. That’s it! Dan semua orang tahu akan hal itu, termasuk aku.
“Males gila ih! Kapan nyampe sih, katanya bentar lagi” Andina mengeluh lagi dan sepertinya sudah keluhan untuk kesekian kalinya.
“Sa, tas kamu udah di prepare? Yang mana sini aku ambilin” Ega bertanya dengan muka tulusnya.
"Ya dia selalu tulus, selalu saja. Aku tak tahu menganpa dia selalu memberikan perhatian lebih kepadaku. Ega Agatha Sofyan. Teman sejak SD, SMP, SMA dan ternyata kami satu fakultas pula. Aku juga tak mengerti, mengapa Tuhan mempertemukan kami berdua bahkan sampai detik ini. Ega, entah mengapa aku lebih suka memanggilnya Eyas. Singkatan dari namanya, yang sebenarnya rada aneh menurut teman-teman ku yang lain, tapi aku suka. Dan dia tidak pernah menolak. Aku ingin sekali saja mendengar satu kalimat penolakan dari mulutnya. Tapi, bahkan Eyas tak pernah berkata “Maaf aku nggak bisa” atau “Aku nggak suka”. Dia benar-benar tidak pernah mengucapkannya.
Dan yang aku lakukan untuk menjawab pertanyaannya adalah hanya menunjuk dimana letak tasku dan kembali melihat pemandangan di luar jendela. Itu yang selalu aku lakukan kepadanya. Bukan karena aku hanya memanfaatkannya. Tapi, karena aku benar-benar tidak suka dengan caranya memperhatikan ku. Membosankan. Bahkan dia tidak pernah membiarkan aku bergerak dengan caraku sendiri. Bertahan di setiap masalah yang aku hadapi. Eyas selalu ada di sampingku, bahkan ketika aku benar-benar tidak membutuhkannya. Dia selalu begitu. Dan akan selalu begitu.
Embun pagi terasa menyejukkan sekali di tubuhku. Udara dingin seperti menusuk-nusuk tulang rusuk ku. Aroma lembab embun yang bersatu dengan aroma tanah yang selalu aku nantikan ketika sampai di sini. Yogyakarta. Rasanya ingin cepat-cepat pergi mengelilingi Jogja lagi. Berlari pukul 5 dini hari. Itu yang selalu aku lakukan, kegiatan rutin ketika aku sampai di Jogja. Dan Eyas selalu ada menemaniku walaupun aku tak pernah meminta. Rasanya jenuh sekali melihat, mendengar, berbicara dengan orang yang sama setiap saat.
“Kenapa Eyas tidak langsung pulang saja ke tempat kosannya seperti yang di lakukan Andin dan Wina? Kenapa dia mau selalu repot-repot menemaniku?” Bisik ku dalam hati. Aku mau bertanya, selalu ingin bertanya. Tapi, Eyas selalu berubah sikap ketika aku yang memulai pembicaraan. Eyas selalu berubah dingin, ketika aku memulai topik baru yang bukan berasal darinya. Eyas selalu terlihat gugup, ketika sebenarnya aku hanya ingin bertanya “Kamu kenapa terlalu baik sama aku?” atau sekedar basa-basi lainnya. Tapi aku tahu yang akan aku lakukan sekarang ini adalah bertanya tanpa harus repot-repot membuatnya berubah untuk beberapa waktu saja.
“Yas..” panggilku pelan.
“Hmm ya?” jawabnya singkat.
“Kamu mau tau nggak permintaan di 18 tahunku?”
“Kenapa aku harus tau? Do you wanna tell me?” aku mengangguk pelan.
“Aku cuma pengen jadi diriku sendiri mulai dari sekarang dan selamanya”
“Maksudnya? Kamu nggak jadi diri kamu sebenernya sebelumnya?” aku mengangguk.
“Oh come on! Will you explain it?” sambungnya.
“Kita udah kenal berapa lama?” tanyaku.
“Hmm lama banget. I guess almost 12 year, right?”
“Kamu ngerasa ada yang beda nggak sama aku sekarang?” Eyas mengganguk ragu.
“Dan itu yang mau aku tanyain ke kamu, apa yang beda?”
“Ini adalah obrolan terpanjang yang pernah kita lakuin..” jawaban yang membuatku tersentak keluar dari mulutnya.
“Dan..” pancingku.
“Dan I just don’t care with all of things that making you be someone else. Aku tau kamu pasti punya alasan tersendiri, am I right?” senyum tulus itu terlihat lagi di wajahnya. Dan yang aku lakukan hanyalah menunduk dalam-dalam.
“Sorry for everything” dan hanya itu yang dapat aku katakan. Entah mengapa dadaku terasa sesak. Rasanya ingin sekali menangis.
“Hei, look at me! Kamu kenapa Sa? Are you okay?” Dan ini adalah pertama kalinya aku melihat Eyas bahkan tidak terlihat gugup sedikitpun atau terlihat dingin setidaknya. Ya dan ini juga adalah pertama kalinya aku ingin sekali bersandar di pundaknya dan menangis sejadi-jadinya. Aku ingat apa yang aku lakukan ketika Bunda menangis waktu itu, aku tahu Bunda hanya butuh pelukan. Mungkin aku juga. Aku menangis di pundaknya, entah seberapa lama, yang aku tahu, Eyas membiarkan itu semua terjadi begitu saja. Di tengah tanah lapang alun-alun kota Jogja pukul 6 pagi aku menangis sejadi-jadinya tanpa ada yang harus aku pikirkan. Dan itu adalah pertama kalinya aku merasa ka Dean sedang tersenyum senang sekali.
Seperti biasa Eyas selalu berada di beranda kosanku tepat satu jam sebelum kelas ku di mulai. Aku tidak pernah meminta. Aku tidak pernah mengharapkan. Tapi Eyas seperti malaikat yang di kirimkan Tuhan untuk menjagaku. Eyas adalah satu-satunya orang yang menjagaku ketika ka Dean pergi meninggalkan aku dan orang yang di cintainya untuk selamanya. Eyas berlagak seperti dia mengerti duka ku, mengerti apa yang aku rasakan saat itu, mengerti bagaimana rasanya kehilangan dan belajar mengikhlaskan. Dia selalu belagak seperti itu.
Faktanya aku tidak pernah benar-benar mengabaikannya. Aku mengagumi sosoknya bahkan sampai detik ini. Mungkin bukan hanya diriku saja. Tapi semua orang yang mengenalnya. “Terlalu munafik untuk tidak merasa nyaman berada di dekat Ega”. Itu yang aku dengar dari sekumpulan wanita yang ada di kamar mandi ketika aku SMA. Dan aku menyadari itu sejak awal. Hanya saja aku takut merusak peran yang sedang aku mainkan sewaktu itu. Peran sebagai si Nona Cuek. Itu adalah peran ku sewaktu SMA. Aku bahkan tidak pernah mempedulikan siapa pun dan apa pun di sekitar ku. Kecuali aku dan diriku. Bukan berarti aku cewek super kurang pergaulan atau cewek yang di kucilkan oleh teman-temanku. Aku tetap punya teman, banyak malah. Aku juga punya pacar, walaupun akhirnya putus karena pada akhirnya mereka yang pernah menjadi pacarku cemburu dengan keberadaan Eyas. Ya ya ya dia lagi dia lagi.
“Udah siap Sa?” tanya Eyas di telpon.
“Sebentar ya”
“Oke I’m with you” jawaban singkat dan jelas.
Aku hanya menggunakan kaos oblong di lapisi dengan kemeja merah kotak-kotak yang kebesaran, celana jeans butut dan sepatu kets yang tentunya sudah butut. Rasanya malas sekali untuk memulai pelajaran di kampus. Aku berjalan dengan langkah gontai menghampiri Eyas yang langsung membukakan pintu mobil Honda Jazz birunya.
“Kamu beda deh Sa!” sapaan pertama yang keluar dari mulutnya.
“Beda gimana?” aku memulai untuk memperbanyak obrolanku dengannya. Karena biasanya aku hanya menjawab “Oh”.
Eyas tersenyum tulus lagi. “Lebih supel aja”
“Just do what I wanna do, Yas”
“Jadi kalo yang kemaren-maren bukan kamu yang mau?” tanyanya heran.
“Only me and my self that knew about it!” jawabku sambil tersenyum.
“Lo ngerasa nggak sih ada yang berubah dari si Asa, Win?” tanya Andin asal.
“Berubah gimana? Aneh deh ah!” jawab Wina ala kadarnya karena dia sedang sibuk dengan BlackBerrynya.
“Iya dia jadi lebih banyak senyum, banyak ngomong juga dan yang paling aneh nya dia jadi sering banget ngobrol sama Ega!”
“Loh emangnya sebelumnya dia nggak ngomong gitu?” tanggap Wina cuek.
“Let me guess, I think she is falling in love with Ega, oh my God!!! News banget ini” ternyata pernyataan ini bisa ngebuat Wina berpaling dari kesibukannya tadi.
“Maksud lo? Mereka bakal jadian gitu? Hellooo my sweetie Andina Mellia, it’s so impossible, you know that, right?”
“Yee jaman sekarang gitu ada yang namanya nggak mungkin kah?”
“…”
“Win, lo dengerin gw nggak sih?”
“Eh bentar-bentar, lo liat cowo yang ada di situ deh tuh!” tunjuk Wina.
“He eh. Kenapa emang?”
“Kaya pernah liat gitu, dimana ya? Lo juga nggak sih?” tanya Wina penasaran.
“And I don’t really care, dear! Cabut yu ah!” ajak Andin, mengabaikan.
 
Malam ini adalah malam ketiga setelah hari ulang tahunku. Dan kini aku tak sendirian melewati malam dengan pemandangan langit Jogja yang terlihat mendung. Di sampingku ada seseorang yang bersedia menemaniku, namun kali ini lain. Aku yang memintanya untuk menemaniku dan seperti biasa pula, dia tidak akan pernah menolak. Aku memintanya untuk menemaniku di alun-alun seperti waktu itu. Aku merasa ada sesuatu yang datangnya bukan dari siapa-siapa melainkan diriku. Aku merasa sesuatu yang pernah hilang, datang lagi untuk pada akhirnya tetap ada dan tidak pergi walaupun seharusnya sesuatu itu pergi. Aku merasa ada kedamaian ketika aku memikirkan sesuatu tersebut. Hanya saja, aku belum yakin akan sesuatu tersebut. Itulah sebabnya aku masih belum ingin mentakan tentang sesuatu tersebut. Benarkah atau hanya keinginan dan harapanku saja akan sesuatu tersebut.
Di sampingku ada Ega, ya dia hanya menyempatkan waktunya untuk ku di tengah kesibukannya untuk mengurus hal lain yang mungkin memang lebih penting daripada hanya sekedar diriku.
“Yas..” panggilku.
“Ya?”
“Kenapa kamu selalu ada buat aku?” tanyaku pelan.
“Karena aku mau” jawabnya singkat.
“Aku nggak pernah minta”
“Aku juga nggak pernah mau di minta” balasnya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Karena aku nggak pernah mau liat kamu redup”
“Emang kamu siapa?” pertanyaan ini seharusnya tidak usah aku keluarkan. Oh bodohnya aku. Sekarang apa yang akan di jawabnya? Tanyaku dalam hati.
“…”
“Yas..”
“Aku Ega Agatha Sofyan” jawabnya polos.
“Aku tahu, Yas!” sautku singkat.
“Ya kamu tanyanya gitu”
“…”
“Yaudah deh di jawab nih, karena aku cuma mau kamu ada di samping aku, cuma itu aja”
“Kamu bahkan nggak pernah nanya aku, apakah aku nyaman atau nggak dengan adanya kamu, kan?”
“Aku cuma mau kamu”
“...” 
“Aku cuma mau kamu”
Kalimat inilah yang selalu berputar di otak ku untuk ke sekian kalinya. Aku hanya ingin mencoba mencerna, mengerti dan menerjemahkan apa maksud kalimat Ega malam itu. Pacaran kah? Tapi bahkan dia tidak pernah menunjukkan perasaannya seperti pria lain yang pernah mendekatiku. Atau dia menganggapku sebagai adik? Tapi dia selalu memperlakukan aku spesial dan berbeda bukan sebagai adik. Atau dia memang hanya ingin aku menjadi teman baiknya saja. Ya dan pemikiranku yang terakhir itulah yang masih akan aku jadikan patokan atas pernyataan Ega malam itu.
Setelah aku belajar menjadi diriku sendiri, entah mengapa, aku merasa ada yang lain dengan warna dan gradasi kehidupanku. Mungkin benar, menjadi dirimu sendiri memang lebih sempurna daripada ketika kau bermain peran dalam sebuah drama.
...

No comments: