Friday, August 27, 2010

Freedom

BAB 1
commence un nouveau chapitre

“Kalau kamu di suruh main drama, kamu mau milih jadi siapa?”
Pertanyaan mudah tapi punya kesan hebat di sini (di hatiku). Dean yang bertanya, hanya itu yang bisa ku ingat dari semua kehidupanku, yang dapat di kategorikan menyenangkan dan hampir sempurna sebenarnya. Dean, orang yang selalu ada disisiku, bahkan sejak aku lahir di dunia ini. Seseorang yang tak kan aku lupa senyumnya. Matanya yang tenang, bibirnya yang tipis, bahkan dia punya wajah nyaris sempurna. Dia suka warna putih. Dia suka bersih. Dia benci menunggu. Dia baik, tak pernah marah dan aku suka hampir di semua gerak-geriknya.
Tapi, sekarang senyumnya hilang, matanya sudah menutup rapa-rapat, bibirnya sudah tak bisa mengeluarkan suara, wajahnya sudah tak nyata. Kehadirannya sudah tak bisa di rasakan lagi. Dean Putra Sanjaya. Aku selalu suka dengan namanya, karana hampir sama dengan namaku. Deasa Putri Sanjaya.
Aku rindu memanggilnya ”Ka Dean!” lalu berlari mengejarnya. Aku rindu main petak-umpat dengannya. Karena pada akhirnya, aku selalu kalah dan dia mulai menggelitik perutku sampai aku kebelet buang air kecil nantinya.
Setelah itu aku akan teriak ”Bundaaaaaa, ka Dean nih!”. Lalu aku berpura-pura marah.

Tapi ka Dean nggak tau kalo aku cuma pura-pura aja setiap aku marah. Dan pada akhirnya dia selalu minta maaf dan ngasih aku cokelat. Sampai-sampai cokelatnya menumpuk di toples kamarku yang warnanya putih ada gambar ka Dean nya. Ka Dean ngelarang aku makan cokelat tapi dia selalu ngasih aku cokelat. Jadi, biar dia nggak marah, ya aku turutin.
Aku selalu ingat kegiatan apa saja yang selalu kami lewati bersama. Aku juga ingat kegiatan terakhir yang memang tak kan pernah aku lupakan. Karena sejak hari itu, hari yang seharusnya paling aku nantikan di sepanjang tahun, aku kehilangan seseorang yang bahkan tak pernah meninggalkan aku selangkah pun. Aku bahkan tak mengerti kenapa ka Dean harus di larikan ke rumah sakit saat itu. Padahal dia cuma batuk dan keluar darah sedikit. Biasanya ka Dean akan bilang ”Nggak apa-apa kok, yuk kita main lagi!” dan aku tahu saat ka Dean berkata seperti itu artinya memang dia tak apa-apa. Aku percaya ka Dean pria yang kuat.
Tapi saat itu berbeda. Bunda bilang aku harus menunggu di luar ruangan bersamanya. Dan karena aku bosan menunggu, aku mulai mengeja bacaan yang ada di sekitarku. Termasuk ruangan tempat ka Dean berada. ”U-G-D..Itu artinya apa Bunda?” tapi bunda tidak menjawab apa-apa. Aku bertanya lagi ”Bunda, itu artinya apa?” aku tetap tidak bisa mendengar suaranya, Bunda sedang menunduk dan aku tidak bisa melihat wajahnya. Akhirnya aku berjongkok di lantai agar aku bisa melihat wajahnya. Dia menangis. Bunda menangis.
”Bunda, kenapa nangis? Bunda sakit ya? Bunda tadi abis jatuh ya? Dimana? Sini aku tiupin lukanya!”
Tapi tak ada jawaban. Bunda tetap menangis, dia hanya merubah posisinya dan memeluk ku. Akhirnya aku diam saja. Aku tahu mungkin saat itu Bunda hanya ingin di peluk lalu lukanya akan sembuh.

...
Aku membuka mata dan aku sadar aku berada di kamar ku. Kamar ku indah, semuanya serba berwarma putih. Mulai dari sprei, gorden, cat, lantai, lemari dan semua pernak-perniknya. Ini ka Dean yang mendekorasi. ”Supaya tetep ceria di setiap saat kamu bangun tidur dan mau tidur, rapi dan bersih, bagus kan?” aku langsung mengangguk setuju. Itu pernyataan yang bisa aku ingat sampai saat ini beserta senyumannya. Dan ka Dean benar, aku selalu tersenyum ketika aku bangun tidur dan ingin tertidur, tapi bukan karena warnanya. Karena aku tau ka Dean yang mendekornya.
Aku mencari ka Dean di kamarnya yang tepat berada di samping kamarku. Tapi ka Dean tidak ada. Di kamar mandi pun tidak ada. Biasanya ka Dean sudah membangunkan aku di pagi-pagi seperti ini. ”Bunda, ka Dean dimana?” Aku berjalan mendekati Bunda. Mata Bunda terlihat redup, mukanya pucat, tapi dia tetap berusaha untuk tersenyum kepadaku.
”Halo sayang! Sudah bangun? Mau ikut Bunda ke rumah sakit?” Bunda bertanya manis sekali. Aku lupa ka Dean masih berada di sana. Ini sudah hari kesebelas ka Dean di rumah sakit.
”Kita ngapain ke rumah sakit lagi Bunda?”
”Ka Dean kan masih di sana, lagi ada ka Cica juga di sana” ka Cica, aku selalu kesal kalau mendengar nama itu. Karena setiap ka Cica ada sama ka Dean, aku selalu saja di cuekin. Terkadang ka Dean pergi tanpa bilang-bilang . Pokoknya waktu itu aku sebel sama ka Cica.
”Ngapain ka Cica ada juga?” tanyaku ketus.
”Ya kan jengukin, ka Dean kan sakit, sayang”
”Ah aku nggak mau ah, ka Cica suruh pulang dulu”
”Kok gitu, ka Dean nungguin kamu lho sayang!”
...
Aku nggak mau mengecewakan ka Dean, akhirnya aku ikut juga ke rumah sakit. Untungnya ka Cica sudah pulang. Jadi, aku senang. Muka ka Dean pucat sekali. Bahkan ka Dean terlihat lemas dan lunglai. Matanya juga tak bersinar seperti biasanya. Tapi, senyumnya tetap seindah dan semenyenangkan bisanya. Aku datang dan mencium pipi kanan ka Dean, dingin. Biasanya dia yang akan melakukan hal itu, tapi aku tau dia lagi sakit. Jadi, aku memaklumi saja. Usia kami berbeda 12 tahun. Ka Dean, 18 tahun, waktu itu. Aku masih berumur 6 tahun. Tapi, aku masih bisa mangingat semuanya. Secara detail, kata Bunda daya ingat ku memang hebat sejak kecil.
Ka Dean, memanggilku, setelah dia ngobrol lama sama Bunda. Tapi suaranya sudah mulai hilang. Ka Dean sulit berbicara. Tadinya aku nggak mau paksa, tapi aku juga ingin mendengar suaranya. Sebenarnya, waktu Bunda bilang aku main dulu di sana. Aku dengar apa yang mereka omongin. Tapi nggak banyak.
“Dean, kamu harus kuat, kamu nggak boleh ninggalin Bunda” Bunda berbicara sambil terisak.
“Aku tahu, Bunda pasti bisa. Bunda, harus jaga Deasa baik-baik. Kaya Bunda jaga aku. Walaupun Deasa…..” Lalu aku tak mendengar lagi karena cleaning service yang lewat dengan dorongannya, berisik sekali. Sampai tiba-tiba ka Dean memanggil ku.
”Kamu harus jagain Bunda ya! Jangan jadi anak nakal, jangan suka makan cokelat!”
Ka Dean manis sekali senyumnya. Masih selalu terekam di benak ku senyum terindahnya. Aku tahu ka Dean nggak akan kemana-mana. Karena ka Dean pernah bilang ”Aku kan bisa liat kamu kalo lagi dimana aja lhooo!”. Aku tahu, ka Dean nggak akan takut aku jadi anak nakal. Karena ka Dean pernah bilang ”Kamu kan anak baik, jadi ka Dean sayang”. Aku tahu, ka Dean nggak bakal khawatir kalo aku makan cokelat, karena aku selalu menyimpan cokelatnya di toples kesayangan ku di kamar. Dan ka Dean tahu semua itu. Jadi, aku nggak perlu khawatir. Iya kan?
Bunda terus saja menangis, sambil merangkul aku. Tangan nya gemetaran, genggamannya di tangan ka Dean kuat sekali. Ka Dean mulai batuk-batuk lagi. ”Sesak lagi, Bun” Ka Dean berkata sambil memegang dadanya dengan tangan satunya lagi. wajah ka Dean kasihan, kesakitan. Tapi, aku tak tahu harus berbuat apa. Bunda melepaskan rangkulan tangannya di pundakku. Tapi tidak melepas genggaman tangannya di tangan ka Dean. Tangan Bunda terus memencet tombol panggil darurat yang ada di sebelah ka Dean. Tak lama setelah itu, ada dua orang suster dan satu orang dokter yang menangani. Suster itu cantik, dia meminta kami menunggu di luar. Aku kesal sama suster itu. Dia pasti pengen deket-deket ka Dean deh, makanya nyuruh aku sama Bunda keluar dari ruangan.
Bunda menangis lagi, wajahnya sendu sekali. Seperti wajah ku apabila ka Dean ingin pergi sama ka Cica. Aku takut ka Dean nggak balik lagi. Dan wajah Bunda terlihat seperti itu. Aku memeluk Bunda, mungkin aku bisa membuatnya berhenti menangis seperti waktu itu. Tapi ternyata tidak, Bunda memang tersenyum kepadaku, lembut sekali tatapannya. Tapi, Bunda tetap menangis. Dan terus menangis. Aku melihat tangan Bunda gemetar lagi. Kami menunggu selama kurang lebih satu jam. Aku tak tahu, karena aku tertidur di kursi tunggu rumah sakit. Dan ketika aku bangun, aku melihat Bunda sedang berjalan menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan ka Dean. Raut wajah dokter itu menyedihkan, seperti yang sering aku lihat di TV. Tapi aku yakin, ini berbeda, karena kalo di TV pasiennya akan meninggal. Dan nggak mungkin ka Dean meninggal kan?
”Pasti dia lagi sama suster cantik itu deh!” ini lah yang ada di benakku saat itu.
Dokter itu menggeleng dan seperti meminta maaf kepada Bunda. Bunda langsung bergegas ke dalam ruangan sambil berlari kecil. Aku tak tahu harus berbuat apa. Dokter itu menghampiri ku, dan sedikit menunduk, karena dia terlalu tinggi.
“Kamu harus kuat ya adik kecil, nggak boleh sedih” lalu dia pergi setelah menepuk pundak ku dan mengacak-acak rambut ku. Aku hanya diam dan tidak mengubris perkataan dokter itu. Kata ka Dean kita nggak boleh ngeladenin orang yang nggak di kenal, aku kan nggak kenal sama dokter itu.
Aku melihat suster mendorong tempat tidur ka Dean keluar dari ruangan. Muka ka Dean di tutup dengan kain putih. Aku ingin langsung bilang kalau nanti ka Dean akan sulit bernapas. Tapi mereka berjalan terlalu cepat. Aku jadi tidak bisa mengejar. Mereka menyebalkan sekali pikirku. Mereka sudah ada dalam ruangan dengan ka Dean dan sekarang ingin membawanya pergi. Aku cepat-cepat mencari Bunda dan ingin mengadu. Tapi Bunda sepertinya tidak keberatan ka Dean di bawa pergi oleh suster itu. Dan itulah saat terakhir aku melihatnya.
Dean Putra Sanjaya
My Lovely Brother
You will be never changed in my heart
Cause I know, you’ll do like what I do, right?
... 
Sekarang yang aku tahu, aku harus mencoba berdiri sendiri. Aku tidak boleh goyah, aku tahu ka Dean pasti sedang memperhatikan aku di sana. Di surga. Aku yakin sekali. Dia tidak mau pergi meninggalkan aku. Bahkan di setiap langkah ku. Ka Dean bilang aku harus jagain Bunda. Aku tahu itu pasti adalah misi yang sengaja di buat olehnya. Supaya Bunda nggak kenapa-napa. Tapi, aku juga tahu kalo semua manusia tidak ada yang sempurna. Dan aku tahu bagaimana cara agar ka Dean selalu percaya sama aku sampai kapan pun. Aku tidak akan pernah menjadi diri ku sendiri sampai aku benar-benar siap untuk membuat ka Dean kecewa nantinya kepada diri ku sebagai diri ku sendiri. Dan benar di tahun ini, seperti keinginan ku di akhir tahun, aku akan menjadi diriku. Di umurku yang ke 18 tahun ini, aku akan menjadi diri ku sendiri, bermain peran sebagai Deasa Putri Sanjaya. Gadis kecil berumur 6 tahun yang kehilangan kakak tersayangnya yang kini sudah menjadi gadis berumur 18tahun.
”Tahun ini adalah tepat 12 tahun aku kehilangan ka Dean, hari yang seharusnya menjadi hari yang indah, karena hari ini hari ulang tahunku” aku berbicara dalam hati dan tersenyum. Karena aku tahu di antara keramaian, ada kehadiran ka Dean di sana.
Dan disinilah aku, di perjalanan menuju kota pelajar setelah liburan panjang tahun baru. Semilir angin yang masuk melalui sela-sela jendela kereta menerpa wajahku. Aku rindu sekali seseorang yang aku tahu tidak akan pernah bisa di harapkan kehadirannya. Tapi aku tahu, seseorang itu pasti sedang senang sekali karena sekarang aku berada di tempat yang selalu di inginkannya. Yogyakarta.
”Ka Dean, aku kangen kamu!” aku berbisik. Dan mulai memejamkan mata sambil mendengar alunan lagu  yang selalu ka Dean nyanyikan untuk ku sebelum aku tidur.
Big Big Girl- Emilia
I’m big big girl
In a big big world
It’s not a big big thing if you leave me

But I do do feel that
I do do will miss you much
Miss you much
…… 
sériés...

No comments: