With love, @fadilamh
28 April 2012
Hari ini kami bertemu lagi setelah 7 bulan. Hari ini aku bertemu kembali dengan seseorang yang tak akan pernah aku miliki. Aku dan kamu kembali dalam diam. Hanya suara iPod yang menyolok pada audio mobil yang setia riang bernyanyi tanpa henti. Kita tetap dalam diam.
Sore ini kamu dengan senang hati mengunjungiku di sini, di Kota hujan, Bogor. Kita melakukan banyak hal layaknya remaja yang sedang jatuh cinta. Maksudku, kembali jatuh cinta. Bioskop, popcorn, soda, junk food, tertawa, bercanda, dan kemudian kembali terdiam.
Entahlah, mungkin kita terlalu terbawa suasana ketika mulai bercerita kehidupan satu sama lain setelah kita memutuskan untuk hidup masing-masing.
"Iya, kamu sekarang harus bisa cari seseorang yang bisa diajak serius lah, Net!" dia terdiam. "Aku selalu nyoba kok An, tapi aku nggak mau main iya-iya aja. Terakhir kali aku serius, itu sama kamu." aku menunduk, memalingkan wajah, mencoba menatap air hujan yang mulai deras. Waktu terasa lama berjalan, namun jarak yang ditempuh semakin mendekat. Aku menganggukan kepala, ya! Ini bukan saatnya aku terbawa perasaan. Bukankah di awal, kita bertemu sebagai dua orang teman.
"Hahaha. I know, you must be think that now is not our age for doing the high school stuff, right? Flirting, PDKT, suka, jadian, bahagia, masalah, berantem, putus." aku memalingkan wajahku ke arahnya, bersikap santai dan mencoba bertahan dengan obrolan klasik menusuk hati dan membangkitkan memori ini. "Yaaa aku sih berpikir kaya gitu. Sudah umur aku juga kan. Lulus kedokteran aku mungkin msh 3 sampai 4 tahun lagi. I'm the first man in house. Kamu ngerti kan?" dia terus menatap stir, seolah tak ingin memperlihatkan raut wajah sendunya padaku.
"I'm trying to understand, Net. Tenang lah pasti ada yang mau sama dr. Kenneth Andrian. Coba siapa yang nggak mau?" tanya ku menggoda. Dia tersenyum. Senyum yang selalu mengingatkan ku pada senyum di setiap pagi beberapa tahun lalu. "Ada kok. Kamu." aku tertunduk, mencoba berpikir, menyusun kata-kata tepat untuknya. "Hahaha. Aku kan bukannya nggak mau. Tapi nggak bisa. Kamu juga kan! Wee.." 'Stay cool, Andina. Calm down! Be good! Nothing will be changed!' Seru ku dalam diam. Aku rasa, aku benar-benar butuh mind treatment setelah ini. Atau erase mind treatment, if any. Aku tersenyum miris.
"Hahaha. Kamu kan enak, yang sejalan sama kamu, banyak. Aku? Nggak semua bisa ngertiin aku." aku mulai tak suka mendengar perkataannya, terlalu merendah, namun tak berarti. "Tuh kan! Kamu tuh selalu kaya gitu, coba gimana kamu bisa tahu that's your exactly girl or not, kalau kamu belum pernah mencoba untuk dekat. At least kenalan lebih jauh." seperti biasa, kemudian hening.
"Aku ragu." "Then, why you have to be doubted?" "Mana ada sih An yang suka sama aku. Di kampus, kebanyakan dari mereka Chineese, putih, aku putih nggak, hitam juga nggak, temen main aku, skinny, cantik, ganteng. Aku? Tinggi nggak, pendek juga nggak. Intinya serba di antara. Intinya aku minder."
"Kamu tahu kenapa aku sayang sama kamu? Karena sebagaimana pun kamu adalah kamu, Kenneth!" aku tersenyum simpul. Lampu merah perlahan berganti warna merah, kuning, kemudian hijau. Kami masih saling bertatapan. "Tiiiin... Tiiiin..." ya tentu saja sampai terdengar klakson mobil di belakang kami. Seketika itu pula aku tersadar untuk kembali menyentuh langit, menginjak bumi dan menghapus angan-angan.
"Makanya kamu harus berani, nggak usah sok minder deh. Banyak kan yang mau sama kamu. Nggak usah khawatir berlebihan deh." nada bicara ku berubah. Terdengar kesal atau bahkan marah? Entahlah. "Iya, Andin. Kamu nggak ngerti sih, nggak pernah ada di posisi aku. Untuk dapet yang sejalan tuh nggak gampang di Indonesia...." "Oh, kalo gitu kamu pindah aja, ke Singapur kek, Hongkong, Europe, or any others country." potongku. "Tuh kan.." ada ketakutan yang menjamahi pikiran dan daya khayal ku sesaat setelah berucap. Bagaimana kalau dia melakukan apa yang aku katakan. Bagaimana kalau setelah ini kami benar-benar tak pernah bertemu. "Yaudah deh nggak usah dibahas." kataku luluh. Kembali terdiam. Kau tahu, apa yang ku katakan 'terdiam' di dalam setiap obrolan, bukan terdiam hanya dalam hitungan detik. Mungkin belasan menit.
'Going back to the corner...' Ya! Good memperkeruh pikiran yang ada The Man Who Can't be Moved-The Script. "I'm not moving~ I'm not moving~" aku mulai mengikuti lirik yang ada dengan suara ekstra gaduh tak karuan. Dia menatapku dalam diam. Kami bertatapan dan teredam dalam tawa. "Kita emang nggak pernah cocok buat ngobrol ya?" pertanyaan tanpa jawaban tentunya. 'Iya, kita memang tak pernah cocok untuk berdiskusi. Lalu apa yang kita cocok?' Aku tersenyum. "Neth, mampir ke ATM dulu boleh?" "Siap!" angguknya mantap.
...
Bogor malam ini dihampiri gerimis cantik. Teringat apa yang sempat dia katakan ketika berjalan menuju parkiran. "Kenapa sih orang galau itu pas hujan?" "Oya? Masa sih? Aku nggak kok. Kamu kali ya kalo hujan jadi galau." godaku. "Hehe. Nggak kok." bantahnya malu. 'Ah kau ini Neth. Gerak-gerik mu selalu membuatku rindu masa lalu.' Rasanya ingin sekali bisa memelukmu. Mendapatkan kelitikan manja. Dan tawa riang sampai hampir menangis. Kamu. Selalu membuatku merindu. Di tengah hujan, aku, kamu, duduk bersampingan dalam diam ditengah rindu dan perbedaan yang membatasinya.
...
"Hap! Sudaaaaaah." seru ku masuk mobil. "Sudah? Langsung ke kosan kamu nih ya?" "Iya" tambahku dengan anggukan. Perjalanan menuju rumah sementara ku di Bogor, ya people called it, kosan, terasa cepat. Entah, mungkin karena batinku berteriak untuk tak ingin ditinggalkan. Tapi, fisik ku menampakan wajah mempersilahkan. "Coba ya kita nggak beda.." kataku hambar. "Heh nggak boleh disesalin!" tanggapnya. "Kamu tau nggak kalo di dalam ilmu kedokteran, 60% bagian dari memory jangka panjang yang aku punya di antara ........ (entahlah aku lupa penjelasannya) ada kamu di dalamnya." tambahnya. Seketika itu pula aku merasa perjalanan menjadi perlahan getting slowly. Dan waktu menyediakan tempat untuk aku terdiam, tersenyum dan melayang. "Iya ya, sayangnya kita nggak bisa sih.." kemudian perkataannya kali ini membuat semua efek indah.... berguguran. Aku menghela napas panjang. Memang tak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini. Tak ada yang bersalah. "Tuh kan siapa sekarang yang nyeseeeeel?" goda ku, mempertahankan guncangan perasaan.
"Sudah sampai" kata ku berat seolah tak ingin beranjak. 'Ya memang tak ingin' batin ku. "Sip! Makasih ya An." 'Ah I hate for called with that only name actually, but you? Exception' aku tersenyum. "Iya sama-sama ya Neth. Hati-hati pulangnya, jangan nyasar!" benar-benar tak ingin beranjak.
"Cium pipi, boleh?" tanya ku pelan. Entahlah aku hanya tak ingin kehilangan kesempatan. Dia menyodorkan pipi tembemnya. Secepat mungkin aku melakukannya. Ya itu hanya sebuah ciuman di pipi. Di pipi seseorang yang pernah punya banyak angan bersama denganku. Seseorang yang pernah mengisi hari-hari di masa remaja ku. Seseorang yang menemani ke labilanku. Dan seseorang yang selalu aku sayang.
Aku mempercepat gerak ku untuk membuka pintu mobil. Berdebar tak karuan. Bahkan itu hanya di pipi. Namun, kecepatan ku membuka pintu tak secepat dia menarik ku kemudian mencium ku. Disini! Di bagian kening. Kamu memilih kening ku untuk di berikan kecupan. Bukan bagian lain, bagian pipi atau di bibir. Kalian tahu? Ketika seorang mencium mu di kening, artinya yang dia inginkan dari mu adalah kamu. Ya hanya kamu untuk selamanya. Indah, bukan?
...
Aku tersadar bahwa hari ini Sabtu malam. Artinya, banyak orang keluar rumah. Ramai dan padat. "Ini mall di Bogor cuma satu apa gimana sih? Rame banget kayak cendol" komentarnya ketika melewati petugas security mall. "Ih bawel! Anak gaul Jakarta raya sih yaaa!" sindir ku tak berekspresi. "Hehe. Iya deh iya sorry. Eh kamu selesai kapan sih? 1,5 tahun lagi ya? Atau 2 tahun?" "Selesai apa? Kuliah?" tanggap ku. "Iya. Kapan?" "Hmm.. 1,5 tahun lagi kali ya. Amiiiiin!" sahut ku bersemangat. "Kamu?" "Aku sih masih 3 tahun lagi kali ya. Belom kalo mau spesialis" jawabnya. "Asik kan Pak dokterrr!" goda ku sambil beranjak ke arah eskalator. Tak ada yang aneh dengan pertanyaannya barusan. Memang biasa saja sampai saat sebelum dia pergi berkendara meninggalkan gerbang kosan ku.
...
Aku bergegas membuka pintu mobil. "Hati-hati ya!" "Eh, An!" panggilnya. Ku tahan pintu tersebut dan kembali menoleh ke arahnya. "Satu setengah tahun lagi ya?!" Entahlah. Aku bahkan tak mengerti maksud perkataannya. Ku anggukan kepala ku dan tersenyum senang. Ku lambaikan tanganku ke arah mobil yang perlahan bergerak meninggalkan ku. "Tuhan, ku mohon, bawa aku kembali ke realita" batin ku. Ku hela napas panjang dan membalikan badan serta melangkah gontai ke arah kamar kosan ku. Ok, you have to back to the reality, Andina Mawi Putri.
...
No comments:
Post a Comment