Kembali dipertemukan. Hujan, pojok nyaman, Kedai Hijau, secangkir kopi, segelas jus strawberry smoothies manis tanpa susu, dan kamu di hadapan.
"Sampe sekarang masih gini-gini aja ya? Nggak ada yang berubah secara fisik sih." Kata ku datar sambil memainkan sedotan minuman dingin ku. "Kamu gimana?"
"Batin tapi selalu baik, kan? Udah jalan beberapa tahun masih gini-gini aja?" tanyanya lagi santai.
"Baik. Iya, masih gini-gini aja. Masih nyaman gini-gini aja." ada keheningan menghampiri. Ada bayangannya terlintas. Ada rasa yang tak terdeteksi apa, buram, berbayang. "Kamu gimana?" tanya ku ulang.
"Aku masih sibuk buat ngelakuin hal yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan mencoba menemukan pengganti kamu." dia tersenyum simpul, kemudian menyeruput kopi panasnya pelan. Asap dari kopi yang bergerak perlahan mengikuti angin menutupi sebagian wajah tampannya. Ada rasa iba, rasa yang tak terdeteksi lagi.
"Bukannya juga lebih menyenangkan menemukan hal baru selain aku?" aku diam. Dia menatap ku dalam, tatapan kesal. Kembali sulit bernapas ketika harus melihat matanya.
"Kamu memang cerita yang tidak menyenangkan." aku diam mendengar perkataannya, kasar. "Tapi akan jauh lebih tidak menyenangkan kembali mendapatkan cerita yang sama, sama tidak pernah terselesaikan." aku mengalihkan pandangan ke arah jendela, mencoba merangkai kata dan menyeimbangkannya dengan rasa.
"Kamu cerita terpahit yang pernah ada." kembali ia menerjunkan perkataannya. Aku menatapnya nanar, sejahat itukah aku selalu dihadapannya? "Kamu cerita yang tidak ingin aku ciptakan." Ada hawa panas di sekujur tubuhku. "Kamu selalu seperti ranting patah untuk ku. Tak pernah bisa kembali seperti semula, tak pernah sempurna." mata ku panas, tertahan untuk bicara, air mata ku berbicara.
"Lalu untuk apa kamu membiarkan setiap ucapanmu meluncur begitu saja? Untuk kembali menyakitiku?" aku tak bisa menahan rasanya. "Untuk apa kita tetap melakukan ritual bodoh ini?" aku meneruskan. "Untuk apa tetap datang ke sini di bangku ini pada tanggal ini? Untuk apa membiarkan dirimu terjebak hanya dalam bayang-bayang aku, si bodoh perusak cerita kehidupan mu?" Aku menurunkan volume suara ku, terengah-engah, masih dalam tangis, mencoba mengendalikan emosi ku dan kembali menatap mu. "Ini sudah tahun ke tujuh, kita bertemu, tak ada angin, tak ada hujan, kau tetap datang kan ke sini? Di hari ini? Ritual bodoh ini? Untuk apa? Kau masih selalu mengingatnya kan?" aku menatap gelas minuman ku yang mengeluarkan buli-bulir air di permukaan dinding luarnya. Aku tersenyum dalam tatapan kosong. "Kau.." aku kembali memainkan sedotan minuman ku. "Kau.. ah sudahlah percuma menjadi yang merasa paling benar dihadapan mu. Kamu tidak pernah berubah, tidak akan. Aku pergi!" ku rapikan buku-buku yang ada di meja bundar selutut itu, memasukannya ke tas, mengambil kunci mobil, membayar minuman, bergerak perlahan meninggalkan tempat ritual bodoh kami. Ponsel ku berdering. Aku menatapnya.
"Iya.. Halo, aku udah mau pulang kok. Iya dari Kedai Hijau, aku?" Ku tatap kembali seseorang yang ada di hadapanku tadi, masih duduk tak berubah posisi. "Oh aku sendirian kok, mas."
@fadilamh