Sampai malam ini, aku menjumpai mu di satu kedai yang sudah lama tak ku kunjungi. Aku terbiasa ke sana denganmu. Dengan tangan saling menggenggam. Hati saling terpaut. Dan bibir yang mengecup lama keningku. Malam ini berbeda, bukan kamu yang mengajak ku ke sana, sahabatku, Dion, yang meminta ku menemaninya, sekaligus benar-benar belajar melupakan kamu. Tapi Dion salah, dia bodoh. Dia tidak memprediksi kehadiran mu di sana. Ah bukan Dion yang bodoh, tapi aku. Malam tadi adalah malam Senin, kamu memang selalu di sana, sejenak mengasapi wajah mu dengan asap rokok dan kopi hitam pahit mendukung suasana santai mu. Ah iya aku bodoh, aku lupa. Malam Senin memang selalu menjadi hari santai mu, karena esok hari kesibukan mulai meghampiri mu satu per satu.
"Criiiing..." lonceng pintu kedai berbunyi. "Hai Mba, sudah lama nggak kelihatan, halo mas Dion!" sapa hangat Anto, pelayan kedai. Bagaimana tidak kenal, hampir setiap minggu aku mampir ke sana, dulu, waktu aku masih denganmu. Ku pandangi seluruh isi kedai seraya berjaga, aku takut akan melihat mu malam ini. "Yuk!" Dion menarik lengan ku pelan. Ah aku benar, firasat ku benar. Kamu ada di situ. Di pojok nyaman mu dengan asap, secangkir kopi hitam dan seseorang yang mendengarkan cerita dan menatap mu dalam.
Aku menggenggam lengan Dion, perlahan menarik mundur dan menghentikan langkahnya. "Gue nggak bisa, belum siap." tegasku seraya berbalik ke arah pintu kedai.
"Criiiiing..." lonceng pintu kedai kembali berbunyi mengantarkan kepergianku. Di satu sisi, kamu berhenti berbicara dengan lawan mu, melihat ke arah pintu tertutup, terdiam, kemudian kembali menyeruput kopi hitam panas mu perlahan, pahit. Dan semakin pahit. -@fadilamh
No comments:
Post a Comment