6:37:49 PM. Begitu waktu digital yang tertera di jam casio tipe lama yang cukup trend pada zamannya. Ah menunggu perubahan pada angka pertama di jam ku artinya harus menunggu perubahan angka 37 kembali ke 37 lagi dengan awal yang berubah dari 6 menjadi 7 dan detik yang entah angka berapa yang tepat. Satu jam, hanya satu jam. Tapi ada banyak perubahan yang mungkin terjadi dalam satu jam. Menunggu satu jam untuk tiba di stasiun selanjutnya dan kembali menghadapi cerita yang entahlah bisa dikatakan berulang pun terkadang berubah. Duduk di dalam kereta penghubung dalam kota di jam pulang kantor memang bukan pilihan yang paling tepat. Tapi sekalipun tidak tepat, aku harus kembali ke tempat aku membuka mata di pagi hari dan pergi untuk kembali mengulangi rutinitasku. Bisa dikatakan lelah memang. Pekerjaan seorang pelayan memang tidak pernah semudah yang orang bayangkan. Baik, namaku Ananda, aku perempuan berumur 19 tahun yang tidak mampu meneruskan sekolah dan berusaha mencari kerja untuk sekedar membayar listrik rumah kontrakan yang dihuni 4 orang, aku, ibu dan 2 orang adik ku. Ayahku? Ah sudahlah.
Mari tidak membahas tentangnya. Aku punya mimpi, iya sama seperti kebanyakan orang, mimpi yang memulai segalanya. Dan usaha yang membawaku meraihnya. Aku seorang pelayan, iya pelayan, tadinya, beberapa tahun yang lalu. Sebentar lagi umurku menyentuh angka 26 dan sekarang aku sudah bukan lagi seorang pelayan yang diberikan perintah, pelayan yang dimintai tolong atau pun pelayan yang beberapa kali terkena lecehan hidung belang. Sekarang aku tidak lagi duduk di kereta dengan kelelahan, melainkan kegembiraan, karena rasanya sudah cukup lama aku tidak mendengar riuh gemuruh orang di stasiun, anak kecil menangis di ujung gerbong kereta atau pun beberapa orang yang tertinggal kereta dengan muka melas dan kesal. Iya sudah sekian lama semenjak aku berhasil meraih mimpi ku, sekarang aku seorang owner, bukan lagi waiter. Usaha ku untuk tetap terjaga saat malam membaca dan berlatih soal paket C dan terus kuliah mengambil gelar sarjana membuahkan hasil. Aku owner dari sebuah restoran dibilangan sentral Jakarta. Bukan karena aku bisa membelinya, bukan. Melainkan hadiah dari Tuhan yaitu keahlianku menarik orang untuk berinvestasi yang sangat aku syukuri hingga detik ini. Dua puluh enam tahun bukan umur yang muda lagi. Ibu ku pergi ke rumah Tuhan tahun lalu, ketika aku baru saja menyelesaikan sarjana ku. Ayah ku? Ah ayolah tidak usah kembali membahas dia. Kedua adik ku sekarang sedang berada pada jenjang sekolah menengah keduanya karena jarak umur mereka yang memang saling berdekatan. Aku? Umur ku 26 tahun, aku bisa menghasilkan uang ku, membiayai kedua adik ku, juga para pekerja ku, membahagiakan pelanggan restoran ku dengan sajian makanan yang memanjakan lidah, ah apalagi yang aku kurang untuk syukuri. Puji Tuhan, tak ada yang mengalahkan kuasa-Mu.
7:07:49 PM. Kembali ku lihat layar jam ku. Ya ya ya baiklah, iya memang ada yang kurang. Usiaku 26 tahun dan aku belum menikah. Baik lah aku mengaku kalah, memang ya memang belum lengkap rasanya. Bukan karena tidak mau menikah atau sekedar mencoba sebuah hubungan. Bukan jugaa karena tidak ada yang tertarik denganku. Siapa yang tidak tertarik, wanita yang baiklah aku memang tidak mengakui diri ku cantik, tapi beberapa orang berkata begitu, aku justru menganggap terkadang plin plan, tapi orang-orang melihat aku sosok yang di idamkan. Mungkin memang ada yang salah dengan penilaian mereka atau hanya sekedar penghibur makanya mereka berkata begitu, mungkin. Ada banyak yang mendekatiku, iya ada, mulai dari pelanggan, teman lama ku, beberapa rekan kerja ku dan bahkan satu dari beberapa investor ku mengaku jatuh cinta pada ku. Tapi apa bisa aku hanya memberikan hati ku cuma-cuma? Untuk siapa, orang yang bahkan tidak benar-benar mengenalku dengan baik. Oke baiklah aku memang tidak membuka diri. Tapi toh aku punya alasan yang logis. Well, cukup logis. Cerita cinta yang selalu aku dengar dari orang-orang disekitar ku hanya berujung sedih, pengkhianatan, duka, atau sejenisnya, termasuk cerita cinta dari ibu ku. Ibu terlalu tegar, dia memang tidak menceritakan bagaimana Ayah hanya pergi begitu saja untuk wanita lain, karena yang ibu ceritakan hanya bagian indahnya, mereka bertemu, jatuh cinta, jadi lah aku dan kedua adik ku. Di luar daripada itu, apa bisa hanya dikatakan berhenti jatuh cinta? Mana bisa dibilang cinta kalau ada tahapan dimana kau harus berhenti dan memulai cinta dengan orang lain. Tidak logis! Bodoh!
7:27:49 PM. 10 menit lagi aku tiba di stasiun tujuan ku. Masih tak ada yang merubah persepsi ku tentang cinta, jatuh cinta, atau pun jodoh. Entahlah masih banyak yang ingin aku bahagiakan dibandingkan hanya diriku sendiri. Hening. Aku lelah ingin terlelap saja.
7:35:49 PM. Baiklah mari lupakan, bersiap turun, kembali pada sebuah rumah dengan senyum dan tawa di dalamnya. Masih berputar lagu-lagu di ipod mini ku. Kali ini Don't Change - Musiq Soulchild yang menyambut kepulangan ku di stasiun Cikini.
7:37:15 PM. Pintu kereta terbuka. Masih sempat aku melemparkan pandanganku ke sekitar di dalam kereta.
7:37:49 PM. Pintu kereta kembali tertutup dan mulai bergerak meninggalkan stasiun Cikini ke arah selanjutnya.
7:38:10 PM. Aku masih terpaku di depan pintu kereta dan memandang arah yang sama, kembali meyakin kan diri bahwa benar apa yang aku lihat. Di ujung gerbong sana, seorang pembersih gerbong kereta berseragam sama seperti pembersih yang lainnya. Seseorang yang mirip betul dengan..... Ayahku.
Cerita yang kucoba tulis duduk manis dalam diam di kereta tujuan Bogor-Jakarta. -@fadilamh
No comments:
Post a Comment