Monday, August 19, 2013

Sebuah cerita.

Cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi lagi, firasat ku ingin kan kau tuk cepat pulang cepat kembali, jangan pergi lagi.
Lantunan lagu terdengar sayup di telinga ku, membuatku sekejap menerawang. Sebait lagu untuk, entah siapa. Beberapa hari lagi adalah hari pertunangan ku dengan pria yang aku idam-idamkan. Hitungan hari lagi status ku berubah menjadi tunangan orang. Dalam segenap hati di bilangan hari ini ada yang baru-baru ini saja timbul di hati. Entah apa namanya, mungkin khawatir, atau pun cemas, atau kah orang menyebutnya ragu? Entahlah, belakangan ini rasa takut sering menggerogoti. Belakangan ini entah bagaimana ada rasa mulai tak pasti antara meragukan dia, kami atau diri ku sendiri.
Curahan hati belakangan hari kemarin pun sampai di telinga Lastri, sahabat ku, "Aduh percaya deh sama aku, ya wong kalo mau kawin aja pasti ada resahnya, wedi inilah, wedi itulah. Kamu kan baru mau tunangan aja lho Din. Kamu ikhlas, apa pun sing terjadi, insyaAllah yang terbaik." aku masih diam. Ya, masih entah tak tahu apa yang di ragu.
Drrt... Drrt...
"Halo mas, iya aku tadi abis fitting kebaya ulang, kan yang kemarin masih kurang pas, kamu jadi ke Jakarta? Kamu hati-hati ya mas! Iya, insyaAllah. Wallaikumsalam" suara di ujung telepon berakhir. Masih enggan berpikir banyak, aku memutuskan untuk mengistirahatkan badan, pikiran dan hati, mungkin.

“Aku udah mau deket daerah apartemen mu nih, kamu masih di kantor? I’ll stay in lobby ya An.” Suara diujung telepon menghentakanku.
“Mmm.. mas Andra, will you stay a lil bit longer there? Atau mas Andra kemana dulu gitu, cari titipan mba Dini atau Bunda atau ke rumah temen mas Andra gitu, will you?” tanyaku.
“Loh kamu masih ada meeting or something gitu di kantor ya?”
“Mm.. Nggak sih, eh iya mas iya ada, masih ada yang harus aku selesaiin, gonna be late, is it ok?”
Ok then, I’ll come back again later. Susah deh adik satu-satunya udah mulai sibuk, cinta sama dunianya sih, mas nya udah nggak di cinta lagi.” Rajuk mas Andra di telepon membuat ku ingin segera memeluknya manja kemudian mencubit kedua pipinya.
I love you, mas!” klik.
And another phone call in, Bernard. “Dre, sudah selesai ngantornya? Mau aku jemput sekalian?”
“Hmm.. Nggak usah Ber, aku bawa mobil sendiri aja, kita meet up dimana? Lagian aku nggak bisa lama-lama nih, soalnya ada….”
Your boyfriend ya?” tanyanya memotong bicaraku.
Boyfriend for a lifetime sih lebih tepatnya, mas Andra, Ber”
“Oh ok, kalau yang satu itu aku nggak bisa ganggu gugat. Ok deh, you pick the place ya, text me if you’ve done, see you Dre!”
See you Ber!” Hal yang selalu aku sembunyikan dari mas Andra, Bernard Dharma, tidak ada yang salah sebenarnya dengannya. Hal yang salah adalah hubungan yang kami pernah jalin. Mas Andra tidak pernah setuju dan tidak akan pernah setuju dengan hubungan ku dan Bernard. Bagaimana tidak, aku dan Bernard berbeda keyakinan. Perbedaan mendasar yang akan selalu menjadi dinding tinggi menjulang dan terpanjang yang tak pernah bisa dihancurkan. Ah, berlebihan memang, tapi memang begitu jalan yang harus aku jalani. Sudah lama sebenarnya Bernard tak menghubungi ku, semenjak orang tuanya memutuskan Bernard untuk meneruskan kuliahnya di Belanda, ‘Ya akan lebih baik mendapat pendidikan di sana, dibandingkan di negara sendiri, Bernard juga akan belajar banyak untuk hidup mandiri. Jadi tante juga bisa tenang nanti kalo Bernard udah bisa apa-apa sendiri. Kamu kan jadi ikut senang nanti kan?’ perkataan tante Miranda seketika itu di bandara, terakhir kalinya aku melihat Bernard, sekaligus mengantar kepergiannya dengan status teman. Iya, teman. Aku kembali membenarkan posisi ku menyetir, melihat kaca spion, meyakinkan diri, bahwa tidak akan pernah terjadi lagi perasaan yang sama.

“Halo, iya Bunda, Andra udah di jalan lagi mau ke apartemen An nih, tadi abis beli kue-kue titipan Bunda. Iya Bunda, I’ll be fine, bunda kenapa sih? Kok kayaknya lagi khawatiran banget. Iya Bunda aku atau pun Adreani akan baik-baik aja kok. Bunda jangan lupa di minum vitaminnya ya. Salam buat Ayah, bilang jangan kecapean juga, Dini besok mau mampir ke rumah katanya. Iya Bunda, I love you too!
Klik. “Ah c’mon An where are you?”

“Kamu kapan balik lagi ke Belanda? Ada niat nerusin ngantor di Jakarta aja?” tanyaku.
“Belum tahu sih, bingung nih, Mami maunya aku ya nggak jauh-jauh dari dia di Jakarta aja. Tapi boss di Belanda masih nggak rela aku pergi, maklum kesayangan nih” candanya.
“Ih kesayangan om-om gitu ya?”
“Ih rese!” reflek Bernard memencet hidungku dan mencium keningku lama. Bagaimana tidak reflek menjauh, sudah hampir lima tahun, aku tidak pernah Bernard dan kembali bertemu, Bernard masih memperlakukan ku dengan sikap yang sama. Tuhan, jaga perasaan ku Tuhan.
“Kamu nggak cari bule Belanda aja di sana?” tanyaku mengalihkan pikiran dalam kecanggungan.
“Nggak lah, orang hatinya udah buat orang Indonesia sih.” Jawabnya santai, melirik ku.
“Ha.. Ha.. Ha.. Kamu nih ya! Eh di sana tinggal dimana? Asik nggak?”
“Kamu tuh ya, emang udah dari dulu nggak jago basa-basi apalagi ngalihin pembicaraan. Dre, don’t you know how much I miss you? I miss us, Dre.” Aku terdiam, hening, tak tahu harus menjawab apa, seperti agak sulit bernapas. “Setiap tahun aku selalu pulang Dre, aku pulang buat Mami, aku pulang juga buat kamu.” Kembali aku merasakan jantungku berhenti untuk sepersekian waktu dan aliran darah di kepala ku mulai melambat. “Yah tapi di setiap aku pulang, selalu ada yang nemenin dan ngajagain kamu kan? Gimana bisa aku datang gitu aja. Prinsip aku kan selalu nggak pernah mau masuk ke kehidupan orang yang sudah punya kehidupan lain, just because I don’t want to feel the same.” Bernard kembali memalingkan wajahnya ke arahku, menatap ku kembali dengan kedua matanya yang berwarna cokelat muda, mengenggam tanganku erat dan kembali mencium keningku lama. And I do is just using a fake smile and all on silent mode. “Dreani, will you be mine back? Once more be mine for my whole life time?”
“Ber, kita udah pernah bahas ini kan, aku cuma nggak pernah mau di antara kita mengkhianati prinsip kita masing-masing, aku….”
I’ve been thinking about this for a long time, Dre. Di Belanda aku nggak pernah bisa ngasih hati aku buat siapa-siapa. Di Indonesia, siapa sih yang ngehabisin waktu aku selama masa-masa high school dulu, kalo nggak cuma sama kamu. Do I have a choice? No, Dreani, big zero. Can we just through this and find the way together?”
Drrt… Drrt… Mas Andra is calling..
“Ber, I need to go now. Mas Andra is waiting for me, can we talk about this later? I’ll be in Bandung for this three days, mas Andra mau lamaran.”
Bernard membetulkan posisi duduk awalnya dan menarik lenganku kembali sebelum aku pergi, “Promise me, we will talk about this later, Dre?” aku mendekatkan wajahku ke telinganya. “Promise me, Ber!”

Tidak ada yang persis tahu bagaimana kejadian mengerikan itu terjadi. Sekitar pukul lima dini hari, mobil sedan hitam keluaran tiga tahun lalu mengalami kecelakaan. Sebuah bus menghantam keras bagian depan mobil yang berputar di jalan tol KM 49 menuju Bandung. Di duga ban mobil dari mobil tersebut pecah dan pengemudi tidak bisa mengendalikan mobil karena sedang berada pada kecepatan tinggi. Total korban jiwa adalah dua orang, berasal dari mobil sedan tersebut. Sedangkan 13 orang lainnya luka-luka berasal dari bus di belakangnya yang ikut tertabrak akibat supir yang ternyata mengantuk. Diketahui dari tanda pengenalnya, kedua korban ini adalah saudara kandung bernama Andra Prasetyo dan Adreani Prasetyo. Sekian berita dari kami. Sekilas warta pagi, kembali ke studio.

Menepati janjiku, hari ini aku datang mampir ke rumah mas Andra untuk menemui Bunda di rumah. Iya, menemui Bunda, menemaninya dalam duka dan air mata. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan air mata. Ada rasa gundah yang hari ini aku tahu jawabannya. Rasa khawatir akan keraguan yang ternyata ini artinya. Bukan, bukan ragu pada apa yang ada di depan, tapi ragu apakah aku akan bisa menjalankan kehidupanku yang baru, tanpa mas Andra? Kembali aku memeluk orang tua di depan ku yang sedang menunggu kehadiran dua jasad putra-putrinya. Iya, kedua hartanya yang paling berharga yang kini harus kembali lagi kepada yang telah menitipkannya. Bunda, Bunda adalah wanita yang paling kuat yang pernah aku kenal, Bunda adalah wanita yang terbaik karena telah melahirkan putra untuk mengisi hari-hariku beberapa tahun belakangan, walau tidak untuk beberapa tahun ke depan dan tidak untuk selamanya. Seketika itu pun air mata ku terjatuh, pecah dari bendungnya. “Dini, maafkan Bunda, tidak bisa memberikan putra Bunda kepadamu, karena Bunda sudah harus mengembalikannya.”

Hari ini tepat di hari aku berjanji akan menjawab pertanyaannya dan kembali membahasnya bersama. Bernard Dharma, maafkan aku. Kembali aku mengingkari janji ku. Dulu pernah aku sekali ingkar janji, bagaimana tidak, kau bodoh sekali mau menunggu ku usai sekolah, padahal sudah jelas aku sedang merajuk karena ada adik kelas yang centil mendekatimu. Bernard, maafkan aku. Ingkar janjiku kali ini bukan lagi hanya karena hal sepele waktu itu. Bernard, maafkan aku. Cepat pulang sana! Jangan terlalu lama memandangku begitu. Sudah hampir hujan, cepat pulang! Tidak ada yang tergubris karena tidak ada wujud si penggubris. Bernard tetap di sana, duduk di sana menghadap batu nisan bertuliskan namaku di atasnya. Bernard, maafkan aku.

Part 2 and the end. -@fadilamh

No comments: