Cepat pulang, cepat kembali, jangan
pergi lagi, firasat ku ingin kan
kau tuk cepat pulang cepat kembali, jangan pergi lagi.
Lantunan lagu terdengar sayup di
telinga ku, membuatku sekejap menerawang. Sebait lagu untuk, entah siapa.
Beberapa hari lagi adalah hari pertunangan ku dengan pria yang aku idam-idamkan.
Hitungan hari lagi status ku berubah menjadi tunangan orang. Dalam segenap hati
di bilangan hari ini ada yang baru-baru ini saja timbul di hati. Entah apa
namanya, mungkin khawatir, atau pun cemas, atau kah orang menyebutnya ragu?
Entahlah, belakangan ini rasa takut sering menggerogoti. Belakangan ini entah
bagaimana ada rasa mulai tak pasti antara meragukan dia, kami atau diri ku
sendiri.
Curahan hati belakangan hari
kemarin pun sampai di telinga Lastri, sahabat ku, "Aduh percaya deh sama
aku, ya wong kalo mau kawin aja pasti ada resahnya, wedi inilah, wedi itulah. Kamu
kan baru mau
tunangan aja lho Din. Kamu ikhlas, apa pun sing terjadi, insyaAllah yang
terbaik." aku masih diam. Ya, masih entah tak tahu apa yang di ragu.
Drrt... Drrt...
"Halo mas, iya aku tadi abis
fitting kebaya ulang, kan yang kemarin masih
kurang pas, kamu jadi ke Jakarta ? Kamu hati-hati ya mas! Iya, insyaAllah. Wallaikumsalam" suara di
ujung telepon berakhir. Masih enggan berpikir banyak, aku memutuskan untuk
mengistirahatkan badan, pikiran dan hati, mungkin.
…
“Aku udah mau deket daerah
apartemen mu nih, kamu masih di kantor? I’ll stay in lobby ya An.” Suara
diujung telepon menghentakanku.
“Mmm.. mas Andra, will you stay a
lil bit longer there? Atau mas Andra kemana dulu gitu, cari titipan mba Dini
atau Bunda atau ke rumah temen mas Andra gitu, will you?” tanyaku.
“Loh kamu masih ada meeting or
something gitu di kantor ya?”
“Mm.. Nggak sih, eh iya mas iya
ada, masih ada yang harus aku selesaiin, gonna be late, is it ok?”
“Ok then, I’ll come back again
later. Susah deh adik satu-satunya udah mulai
sibuk, cinta sama dunianya sih, mas nya udah nggak di cinta lagi.” Rajuk mas
Andra di telepon membuat ku ingin segera memeluknya manja kemudian mencubit
kedua pipinya.
“I love you, mas!” klik.
And
another phone call in, Bernard. “Dre, sudah selesai ngantornya?
Mau aku jemput sekalian?”
“Hmm.. Nggak usah Ber, aku bawa
mobil sendiri aja, kita meet up dimana? Lagian aku nggak bisa lama-lama nih,
soalnya ada….”
“Your boyfriend ya?” tanyanya
memotong bicaraku.
“Boyfriend for a lifetime sih
lebih tepatnya, mas Andra, Ber”
“Oh ok, kalau yang satu itu aku
nggak bisa ganggu gugat. Ok deh, you pick the place ya, text me if you’ve done,
see you Dre!”
“See you Ber!” Hal yang selalu
aku sembunyikan dari mas Andra, Bernard Dharma, tidak ada yang salah sebenarnya
dengannya. Hal yang salah adalah hubungan yang kami pernah jalin. Mas Andra
tidak pernah setuju dan tidak akan pernah setuju dengan hubungan ku dan Bernard.
Bagaimana tidak, aku dan Bernard berbeda keyakinan. Perbedaan mendasar yang
akan selalu menjadi dinding tinggi menjulang dan terpanjang yang tak pernah
bisa dihancurkan. Ah, berlebihan memang, tapi memang begitu jalan yang harus
aku jalani. Sudah lama sebenarnya Bernard tak menghubungi ku, semenjak orang
tuanya memutuskan Bernard untuk meneruskan kuliahnya di Belanda, ‘Ya akan lebih
baik mendapat pendidikan di sana ,
dibandingkan di negara sendiri, Bernard juga akan belajar banyak untuk hidup
mandiri. Jadi tante juga bisa tenang nanti kalo Bernard udah bisa apa-apa
sendiri. Kamu kan jadi ikut senang nanti kan ?’ perkataan tante
Miranda seketika itu di bandara, terakhir kalinya aku melihat Bernard,
sekaligus mengantar kepergiannya dengan status teman. Iya, teman. Aku kembali
membenarkan posisi ku menyetir, melihat kaca spion, meyakinkan diri, bahwa
tidak akan pernah terjadi lagi perasaan yang sama.
…
“Halo, iya Bunda, Andra udah di
jalan lagi mau ke apartemen An nih, tadi abis beli kue-kue titipan Bunda. Iya
Bunda, I’ll be fine, bunda kenapa sih? Kok kayaknya lagi khawatiran banget. Iya
Bunda aku atau pun Adreani akan baik-baik aja kok. Bunda jangan lupa di minum
vitaminnya ya. Salam buat Ayah, bilang jangan kecapean juga, Dini besok mau
mampir ke rumah katanya. Iya Bunda, I love you too!”
Klik. “Ah c’mon An where are
you?”
…
“Kamu kapan balik lagi ke
Belanda? Ada niat nerusin ngantor di Jakarta aja?” tanyaku.
“Belum tahu sih, bingung nih,
Mami maunya aku ya nggak jauh-jauh dari dia di Jakarta aja. Tapi boss di Belanda masih nggak
rela aku pergi, maklum kesayangan nih” candanya.
“Ih kesayangan om-om gitu ya?”
“Ih rese!” reflek Bernard
memencet hidungku dan mencium keningku lama. Bagaimana tidak reflek menjauh, sudah hampir lima
tahun, aku tidak pernah Bernard dan kembali bertemu, Bernard masih
memperlakukan ku dengan sikap yang sama. Tuhan, jaga perasaan ku Tuhan.
“Kamu nggak cari bule Belanda aja
di sana ?”
tanyaku mengalihkan pikiran dalam kecanggungan.
“Nggak lah, orang hatinya udah
buat orang Indonesia
sih.” Jawabnya santai, melirik ku.
“Ha.. Ha.. Ha.. Kamu nih ya! Eh
di sana tinggal
dimana? Asik nggak?”
“Kamu tuh ya, emang udah dari
dulu nggak jago basa-basi apalagi ngalihin pembicaraan. Dre, don’t you know how
much I miss you? I miss us, Dre.” Aku terdiam, hening, tak tahu harus menjawab
apa, seperti agak sulit bernapas. “Setiap tahun aku selalu pulang Dre, aku
pulang buat Mami, aku pulang juga buat kamu.” Kembali aku merasakan jantungku
berhenti untuk sepersekian waktu dan aliran darah di kepala ku mulai melambat.
“Yah tapi di setiap aku pulang, selalu ada yang nemenin dan ngajagain kamu kan? Gimana bisa aku
datang gitu aja. Prinsip aku kan
selalu nggak pernah mau masuk ke kehidupan orang yang sudah punya kehidupan
lain, just because I don’t want to feel the same.” Bernard kembali memalingkan
wajahnya ke arahku, menatap ku kembali dengan kedua matanya yang berwarna
cokelat muda, mengenggam tanganku erat dan kembali mencium keningku lama. And I
do is just using a fake smile and all on silent mode. “Dreani, will you be mine
back? Once more be mine for my whole life time?”
“Ber, kita udah pernah bahas ini kan , aku cuma nggak
pernah mau di antara kita mengkhianati prinsip kita masing-masing, aku….”
“I’ve been thinking about this
for a long time, Dre. Di Belanda aku nggak pernah bisa ngasih hati aku buat
siapa-siapa. Di Indonesia, siapa sih yang ngehabisin waktu aku selama masa-masa
high school dulu, kalo nggak cuma sama kamu. Do I have a choice? No, Dreani,
big zero. Can we just through this and find the way together?”
Drrt… Drrt… Mas Andra is
calling..
“Ber, I need to go now. Mas Andra
is waiting for me, can we talk about this later? I’ll be in Bandung for this three days, mas Andra mau
lamaran.”
Bernard membetulkan posisi duduk awalnya dan menarik lenganku kembali sebelum
aku pergi, “Promise me, we will talk about this later, Dre?” aku mendekatkan
wajahku ke telinganya. “Promise me, Ber!”
…
Tidak ada yang persis tahu
bagaimana kejadian mengerikan itu terjadi. Sekitar pukul lima dini hari, mobil sedan hitam keluaran
tiga tahun lalu mengalami kecelakaan. Sebuah bus menghantam keras bagian depan
mobil yang berputar di jalan tol KM 49 menuju Bandung . Di duga ban mobil dari mobil
tersebut pecah dan pengemudi tidak bisa mengendalikan mobil karena sedang
berada pada kecepatan tinggi. Total korban jiwa adalah dua orang, berasal dari
mobil sedan tersebut. Sedangkan 13 orang lainnya luka-luka berasal dari bus di
belakangnya yang ikut tertabrak akibat supir yang ternyata mengantuk. Diketahui
dari tanda pengenalnya, kedua korban ini adalah saudara kandung bernama Andra
Prasetyo dan Adreani Prasetyo. Sekian berita dari kami. Sekilas warta pagi,
kembali ke studio.
…
Menepati janjiku, hari ini aku
datang mampir ke rumah mas Andra untuk menemui Bunda di rumah. Iya, menemui
Bunda, menemaninya dalam duka dan air mata. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan
air mata. Ada
rasa gundah yang hari ini aku tahu jawabannya. Rasa khawatir akan keraguan yang
ternyata ini artinya. Bukan, bukan ragu pada apa yang ada di depan, tapi ragu
apakah aku akan bisa menjalankan kehidupanku yang baru, tanpa mas Andra?
Kembali aku memeluk orang tua di depan ku yang sedang menunggu kehadiran dua
jasad putra-putrinya. Iya, kedua hartanya yang paling berharga yang kini harus
kembali lagi kepada yang telah menitipkannya. Bunda, Bunda adalah wanita yang
paling kuat yang pernah aku kenal, Bunda adalah wanita yang terbaik karena
telah melahirkan putra untuk mengisi hari-hariku beberapa tahun belakangan,
walau tidak untuk beberapa tahun ke depan dan tidak untuk selamanya. Seketika
itu pun air mata ku terjatuh, pecah dari bendungnya. “Dini, maafkan Bunda,
tidak bisa memberikan putra Bunda kepadamu, karena Bunda sudah harus mengembalikannya.”
…
Hari ini tepat di hari aku
berjanji akan menjawab pertanyaannya dan kembali membahasnya bersama. Bernard
Dharma, maafkan aku. Kembali aku mengingkari janji ku. Dulu pernah aku sekali
ingkar janji, bagaimana tidak, kau bodoh sekali mau menunggu ku usai sekolah,
padahal sudah jelas aku sedang merajuk karena ada adik kelas yang centil
mendekatimu. Bernard, maafkan aku. Ingkar janjiku kali ini bukan lagi hanya
karena hal sepele waktu itu. Bernard, maafkan aku. Cepat pulang sana ! Jangan terlalu lama
memandangku begitu. Sudah hampir hujan, cepat pulang! Tidak ada yang tergubris karena
tidak ada wujud si penggubris. Bernard tetap di sana ,
duduk di sana
menghadap batu nisan bertuliskan namaku di atasnya. Bernard, maafkan aku.
…
Part 2 and the end. -@fadilamh
No comments:
Post a Comment