Mari kita anggap kita hanya pernah bertemu di satu waktu saat rasa tak tahu harus terhempas kemana.
Mari kita anggap kita bertemu dipersimpangan dan akan selalu tetap dipersimpangan yang berbeda, kamu ke arah utara, aku sebaliknya.
Mari kita anggap cita, rasa, ucapan, buaian, rayuan, cerita, canda, tawa, tangis dan semua duka ini hanyalah ada di sebuah alam yang kita sebut sebagai ruang imajinasi tanpa batas.
Aku dan kamu, kini di alam yang sama dengan dinding yang berbeda. Batas awan dan permukaan laut yang menjadi latarnya. Bisikan tawa canda yang menjadi alunannya. Aku dan kamu dalam diam tetap melihat satu bulan yang sama. Disana aku, disitu kamu. Kita dalam diam tenggelam angan dan impian yang mulai memudar. Itu kita dalam tenang, terbatas waktu, terhalang keterbatasan. Ya itu kita dalam malam, saling menggenggam tanpa tahu akhir dari sebuah percakapan hambar. Itu kita, ya itu kita bodoh! Terjebak dalam sebuah prosa kata-kata, terjebak masa lalu.
Ada perasaan sulit bernafas yang sama seperti yang pernah aku alami 3 tahun yang lalu saat rasa dan fakta tak sesuai dengan apa yang menerjang menghadang, saat perbedaan menjadi alasan utama keterbatasan, saat aku dan kamu menyerah dalam diam. Sekarang aku mengalaminya, lagi.
Kamu dengan yakin memilih? @fadilamh
No comments:
Post a Comment