Ada yang hilang. Memang, ada yang hilang. Bukankah memang seharusnya begitu? Kembali aku menatap sorot mataku sendiri melalui pantulan kaca spion mobil ku. Ah kemacetan Ibu kota yang tak pernah ada habisnya. Seharusnya hari ini aku sudah menginjakkan kaki ku lebih pagi dari biasanya di tempat baru yang bisa di bilang calon kantor ku. Yap, masih dalam tahap magang selama tiga bulan ke depan, masa percobaan. Lucu sekali calon kantor ku ini, ada masa percobaan, makanya aku sebut masih calon kantor. Aku tersenyum kembali melihat rentetan mobil di depan dan belakangku. "Cring.." ada pesan masuk, tidak kenal nomornya, tapi pernah lihat, batinku.
Inbox: +6285287560xxx
Hi Dreani..
Kembali ku picingkan mata ku sembari mengingat nomor yang tertera di ponsel pintarku. "Tiiin.. Tiiiin.." klakson mobil di belakang ku cukup menghentak ku untuk kembali menatap jalan di depan. Memutar balik mobil ku di bilangan bundaran HI, berjalan lurus dan membelokannya ke dalam gedung yang ku sebut calon kantor ku. Aku menatap jam tangan ku, pukul 7.45, belum terlambat, pikir ku. Belum terlambat untuk berbelok ke toilet terlebih dahulu untuk membenarkan diri dan make up ku pagi ini. "Andreani, are you ready for this?" ucap ku melemparkan tanya kepada cermin di hadapan ku, kemudian menjawab dengan senyum.
...
"Halo Bun, I'm fine. Just kinda tired in the first day. But still spirit up for this! Bunda apa kabar?" tanya ku melalui telpon setiba di apartemen, tempat tinggal sementara ku di bilangan Jakarta Selatan. Hari ini benar-benar melelahkan, ada banyak hal kecil mendetail yang harus aku pelajari dan kerjakan.
"Iya Bunda baik kok, semua di sini baik. Dua minggu lagi mas mu ada lamaran, bisa pulang kan nak?"
"Ya ampun aku hampir aja lupa, siap, tapi aku baru bisa pulang H-1 Bun, nggak apa-apa? I'll try to be on time kok"
"Iya, kamu segera kabari mas mu ya, jangan bikin dia khawatir, sepertinya mas mu butuh teman cerita, maklum sudah akan mengganti status. Nanti kalo mas mu sudah buat orang lain khawatirnya, kamu toh nyariin kan?"
"Iya Bunda, I will, promise me!" aku tersenyum, mengingat bagaimana mas Andra begitu khawatir dengan keputusanku untuk mengambil pekerjaan di Jakarta, meninggalkan Bandung, kota kelahiran ku, begitu saja. Mas Andra, kakak kandung ku satu-satunya, sekaligus saudara kembar ku. Bagaimana tidak khawatir, dari kecil kami selalu berada di kota yang sama. Berpindah dari Jogjakarta ke kota Bandung pun tetap tak terpisahkan. Sampai akhirnya aku memiliki kesempatan melanjutkan kuliah ku juga di Bandung di satu Universitas yang sama tetap dengannya. Tapi cita-cita ku untuk bekerja di tempat calon kantor ku ini juga hal yang sangat aku inginkan, bergabung menjadi bagian dari tim internasional yang mengabdi untuk negara dan membantu yang lain.
...
"Halo selamat pagi mas Andraaaaa!" ucap ku dari ujung telpon.
"Halo, iya iya, pagi-pagi udah berisik deh" terdengar suara bangun tidur dari ujung lainnya.
"Aduh yang udah mau ganti status" goda ku.
"Kamu nih ya, kamu kapan pulang ke Bandung, nggak mau lihat aku pakein cincin di jari manis mba Dini?"
"Duh yang takut soulmate sehatinya nggak dateng, iya mas aku dateng kok tapi baru dateng H-1, nggak apa-apa ya?"
"Kok H-1 An? Sibuk banget ya? Aku jemput deh H-3 ya aku ke Jakarta"
"Eh.. Jangan mas!! Calon yang mau tunangan baik-baik aja di rumah, duduk yang manis, aku ke Bandung kok pasti, pinky promise!" jelas ku manja. Mas Andra, sahabat terbaik, pelengkap keluarga dan pengganti pacar. Kembali teringat pada beberapa kejadian di masa-masa labil ku dengan kehadiran orang-orang yang ingin menggantikan posisi mas Andra sebagai 'pacar'. 'Mana ada sih yang bisa ngengantiin mas Andra di hati aku? Mana ada sih yang bisa lebih romantis dari mas Andra? Mana ada sih yang bisa super galak dari mas Andra? Nggak ada mas, nggak ada.' Begitu ucap ku ketika pertama kalinya aku memutuskan untuk mempunyai pacar setelah sekian banyak penolakan yang aku lakukan, siapa lagi kalau bukan akibat hasutan mas Andra. Dan ya pertama kalinya aku memutuskan hal tersebut, terbuka pertama kalinya lah potensi terbesar untuk ku patah hati. Ah iya patah hati, tadinya aku ingin bercerita tentang hal ini.
"Iya yaudah, kamu ke sini sama Risan?" Ah!
"Mas, can we just not to talk about him again?" pinta ku.
"Loh kamu udahan sama Risan, An?"
"Aduh mas, kok tumben sih nggak peka"
"Kamu sibuk, jarang ketemu, mana tahu aku kamu gimana keadaannya sekarang. Aku ke Jakarta besok pagi, meet me up like very soon after your office hour, ok dear?" pernyataan dan pertanyaan seperti ini yang tidak pernah bisa aku bantah atau pun menolak.
"Well, no rejection are right in here, right?" Mas Andra, tak tahu bagaimana nanti ketika kamu benar-benar akan mengalihkan rasa khawatir mu untuk wanita lain, bukan aku, lagi.
....
"Cring..."
Inbox: +6285287560xxx
Dre, kamu apa kabar?
Nomor yang sama seperti tempo hari. Ah iya, aku belum menggubris pesan sapa waktu itu.
Sent: Me
Maaf, saya kenal kamu?
Inbox: +6285287560xxx
Bernard, Dre. Have you delete my number, huh?
Sent: Me
Still using this number? I thought you're not. Baru balik ke Indo? Dari kapan?
Inbox: +6285287560xxx
Ini minta nomor ini di aktifin lagi. Yap, about three months already here. Kamu dimana sekarang?
Sent: Me
Udah tiga bulan di sini, baru kasih tahu sekarang? Ck. Di Jakarta Ber.
Inbox: +6285287560xxx
Iya sorry, kemarin sibuk urus kepindahan. Di Jakarta? Can we meet for very soon? How about tonight?
Sent: Me
Well, I'm free for tonight, see you then!
Inbox: +6285287560xxx
Great, see you Dreani, I miss you.
Aku tersenyum menatap layar ponsel ku dan tersentak ingat ketika melihat update seseorang di akun sosialnya, 'On my way to Jakarta, weather be nice' mas Andra!! Oow I'm in trouble, yes I am, seperti memulai kembali masuk ke dalam dunia lama, sewaktu itu.
...
Subuh dini hari, part 1-@fadilamh