Mungkin ini bukan juga cerita Radit dan Jani yang menentang banyak pihak tapi ujungnya pisah juga.
Mungkin juga ini tidak seperti cerita yang dibayangkan kebanyakan orang akan kebahagiaan.
Bukan, jelas bukan.
Bertemu lagi setelah 5 purnama rasanya luar biasa. Sore itu kita duduk berhadapan saling tatap, mungkin sedikit saling mengintimidasi, saling mencoba mendapatkan jawaban di balik setiap tatapan. Ini café favoritku, lanjutmu. Aku tersenyum. Ada tatapan hampa dibalik senyum mu yang sedang seolah bahagia di depan ku. Masih jelas teringat bagaimana tatapan itu sampai detik ini.
Aku menghela napas panjang. Memilih banyak diam. Karena aku tahu, tangis ku akan tumpah ruah. Entah bagaimana caranya, kamu membuka pembicaraan tentang bagaimana dirimu menjalankan 5 purnama ini tanpa saling bertukar kabar atau mengirim pesan “sedang apa?” Indah…rasanya indah…tahu kamu tidak sebahagia itu tanpa aku. Rasanya ingin tersenyum, tapi yang keluar justru air mata lainnya. Ada yang aku tahu hari itu, bahwa kamu juga tidak baik-baik saja setelah kamu memutuskan untuk berpisah. Kamu berjuang dengan keras, sama……seperti yang aku lakukan.
Bisa kita kembali seperti dulu? Tanyamu setelah sebuah jeda panjang yang hanya berisi tangisan. Detak jantungku mungkin berhenti sepersekian detik saat itu. Tangis ku semakin pecah. Sudah tidak bisa dibendung lagi. Kemudian kamu lanjut bercerita banyak hal tentang dirimu dan rasa kehilanganmu. Apa ada yang bisa dijadikan jaminan kelak? Tanyaku.
Kamu berjanji tentang banyak hal. Ingat betul rasanya, seketika aku kehilangan rasa percaya terhadap mu. Seketika itu juga. Tidak, aku tidak bilang kau berkata bohong atau membual hal yang tidak mungkin terjadi. Tidak. Hanya saja memang tidak ada yang bisa menjamin apa-apa. Bahagia? Mungkin. Selamanya? Bisa jadi. Sama seperti yang lalu, sebuah ketidak pastian. Berujung ditinggalkan. Tidak, aku tidak mau lagi.
Kita berdiskusi panjang sore itu. Mengungkapkan keluh kesah. Menumpahkan semua perasaan. Sore itu kita saling belajar, bagaimana rasanya saling melepaskan dan menegaskan. Aku belajar banyak sore itu. Belajar tentang rasa yang benar lebih baik untuk tidak saling memiliki. Rasa yang baiknya dibiarkan begitu saja. Rasa yang tidak mampu diperjuangkan sebagaimana pun juga. Rasa yang tidak mampu mengalahkan ego kedua belah pihak. Rasa yang kita sama-sama tahu akan salah kalau terus dilanjutkan. Rasa yang sudah kita jaga puluhan purnama ini, akhirnya kandas juga.
Air mata banyak menyita waktu ku untuk bercerita sore itu. Ada banyak sekali yang ingin aku ceritakan, tapi belum tersampaikan. Kamu tahu, sekarang aku selalu mengurutkan uang di dompet ku dengan rapi. Ingat betul rasanya di teriaki, yang rapi dong, aku nggak suka di dompet aku nggak rapi susunan uangnya. Kemudian tetap ku masukan asal-asalan kembalian dari toko itu.
Kamu tahu, aku bercerita cukup banyak hal dengan Bunda tentang kamu, tentang kita. Air mata ku masih mengalir deras saat itu. Pesannya cuma satu, kalau memang sudah diakhiri, jangan marah kalau dia bersama orang lain. Aku tertawa, garing, dilanjut dengan tetesan air mata. Sedih, sedih rasanya.
Hei, aku tidak pernah secengeng ini sebelumnya. Bahkan biasanya cenderung tidak peduli. Kamu anak yang baik, kata Bunda. Cuma kita beda dan tidak ada yang akan berjuang untuk menghapus perbedaan. Jadi, yasudah ya. Mari melanjutkan kehidupan kita masing-masing.
Mungkin aku menemukan orang lain sekarang.
Mungkin juga kamu akan menemukan orang lain yang tepat di lain waktu.
Aku pergi dulu, sampai bertemu di lain waktu dengan cerita yang baru.
Bisa kita kembali seperti dulu? Tanyamu setelah sebuah jeda panjang yang hanya berisi tangisan. Detak jantungku mungkin berhenti sepersekian detik saat itu. Tangis ku semakin pecah. Sudah tidak bisa dibendung lagi. Kemudian kamu lanjut bercerita banyak hal tentang dirimu dan rasa kehilanganmu. Apa ada yang bisa dijadikan jaminan kelak? Tanyaku.
Kamu berjanji tentang banyak hal. Ingat betul rasanya, seketika aku kehilangan rasa percaya terhadap mu. Seketika itu juga. Tidak, aku tidak bilang kau berkata bohong atau membual hal yang tidak mungkin terjadi. Tidak. Hanya saja memang tidak ada yang bisa menjamin apa-apa. Bahagia? Mungkin. Selamanya? Bisa jadi. Sama seperti yang lalu, sebuah ketidak pastian. Berujung ditinggalkan. Tidak, aku tidak mau lagi.
Kita berdiskusi panjang sore itu. Mengungkapkan keluh kesah. Menumpahkan semua perasaan. Sore itu kita saling belajar, bagaimana rasanya saling melepaskan dan menegaskan. Aku belajar banyak sore itu. Belajar tentang rasa yang benar lebih baik untuk tidak saling memiliki. Rasa yang baiknya dibiarkan begitu saja. Rasa yang tidak mampu diperjuangkan sebagaimana pun juga. Rasa yang tidak mampu mengalahkan ego kedua belah pihak. Rasa yang kita sama-sama tahu akan salah kalau terus dilanjutkan. Rasa yang sudah kita jaga puluhan purnama ini, akhirnya kandas juga.
Air mata banyak menyita waktu ku untuk bercerita sore itu. Ada banyak sekali yang ingin aku ceritakan, tapi belum tersampaikan. Kamu tahu, sekarang aku selalu mengurutkan uang di dompet ku dengan rapi. Ingat betul rasanya di teriaki, yang rapi dong, aku nggak suka di dompet aku nggak rapi susunan uangnya. Kemudian tetap ku masukan asal-asalan kembalian dari toko itu.
Kamu tahu, aku bercerita cukup banyak hal dengan Bunda tentang kamu, tentang kita. Air mata ku masih mengalir deras saat itu. Pesannya cuma satu, kalau memang sudah diakhiri, jangan marah kalau dia bersama orang lain. Aku tertawa, garing, dilanjut dengan tetesan air mata. Sedih, sedih rasanya.
Hei, aku tidak pernah secengeng ini sebelumnya. Bahkan biasanya cenderung tidak peduli. Kamu anak yang baik, kata Bunda. Cuma kita beda dan tidak ada yang akan berjuang untuk menghapus perbedaan. Jadi, yasudah ya. Mari melanjutkan kehidupan kita masing-masing.
Mungkin aku menemukan orang lain sekarang.
Mungkin juga kamu akan menemukan orang lain yang tepat di lain waktu.
Aku pergi dulu, sampai bertemu di lain waktu dengan cerita yang baru.